Saya, Awan dan
rombongan segera berangkat. Sungguh beruntung hari ini cerah. Sampai disana
kami masih harus berjalan hingga 30km untuk memasuki daerah ini. Bau anyir
darah para syuhada menusuk hidungku. Kami mendapatkan kabar bahwa salah satu
perkampungan kembali di bom bersama satu barak pengungsian. Bau ini membuatku
sangat mual. Darah berceceran dimana-mana. Tanganku mengeluarkan keringat
dingin. Sungguh pemandangan yang menyeramkan. Rumah dan bangunan luluh lantah.
Terlihat beberapa orang mengevakuasi di tempat kejadian. Ada yang menyelamatkan
dari reruntuhan bangunan, menggendong balita yang kehilangan orang tua dengan
luka penuh darah. Tak pernah ku bayangkan kehidupan seperti ini sebelumnya.
Jauh berbeda
dengan pemandangan di kota Depok yang aman dan damai. Gedung bertingkat berdiri
gagah. Mobil lalu lalang dengan tenang. Disini, jangankan mobil, obat-obatan
pun terbatas. Satu-satunya rumah sakit disini telah dihancurkan. Sungguh tak
ada tempat yang aman. Ku kumpulkan keberanian. Kembali mengambil kamera foto
beberapa tempat yang menggambarkan kondisi yang terjadi dan membuat pembaca iba.
Setelah kekuatan terkumpul aku dengan lincah mencari informasi tentang perang
yang terjadi. Seorang bapak yang terlihat fisiknya sehat berhasil kami
wawancarai. Dokter Aida dan kawan-kawan mulai melakukan pertolongan. Akhirnya
kami bertemu beberapa wartawan dari negara lain yang juga ditugaskan meliput
disini. Memang kebanyakan mereka adalah laki-laki. Adapun perempuan, mereka
disini dengan pendampingnya.
Dari pusat
informasi, ada daerah baru yang di bom oleh musuh. Aku, Awan dan beberapa teman
wartawan lainnya segera kesana, selain mencari informasi, kami juga membantu
evakuasi. Bau anyir darah membuatku sangat mual.
“Ini,
minumlah.” Kata Awan kepadaku sambil menyodorkan sebotol air.
“Terimakasih.”
Jawabku.
Mengetahui keberadaan kami, tempat itu di bom untuk kedua
kalinya. Disetiap bom keluar peluru kecil yang bisa menghambur kesegala arah.
Aku tidak sempat berlindung. Sebuah peluru masuk kedalam tubuhku. Nyeri sekali.
Cairan merah keluar dari tubuhku. Awan yang tak terluka ingin menolongku. Aku
mengalihkan tangannya menolak. Disaat ini, tidak ada yang bisa menolongku
selain Awan. Selain sesama Tim dari majalah Al Adzkia, orang lain sedang sibuk
saling membantu temannya yang terluka. Aku masih sadar dan berusaha
menyelamatkan diri. Bibirku mulai memutih. 10 meter aku berjalan dari tempat
terkena peuru tubuhku terasa melayang. Pandangan gelap. Tak sadar.
Wartawan dengan kameranya lebih menakutkan dari pada
serangan bom. Karena dengan tulisannya ia mampu mengisi opini publik. Itulah
alasan kami diserang. Hak perlindungan yang diberikan kepada wartawan tak
berlaku disini. Ini peperangan yang sebenarnya.
Perlahan aku
membuka mata. Aku melihat disekitarku ada infus berwarna merah disebuah ruangan
yang warna temboknya tak beraturan. Ini adalah rumah sakit darurat. Awan yang
melihatku sadar, memanggil dokter Aida.
“Kamu sudah
sadar sayang?” kata dokter Aida lembut. Sambil memeriksa kondisiku.
“Sekarang kau
tau betapa menakutkannya tempat ini jika dijalani sendiri. Honey... kami mohon
sementara hilangkanlah keras kepalamu.” Kata dokter Aida.
“Dok, siapa
yang membawaku kesini?” tanyaku terbata.
“Awan yang membawamu
kesini. Kau kehilangan banyak darah sampai pingsan. Jika saja Awan terlambat
membawamu kesini, mungkin nyawamu tak tertolong. Kau tau, golongan darahmu tak
ada disini. Kami harus bergerak cepat untuk mendapatkan golongan darah yang
sama denganmu. Kembali Awan menyelamatkanmu, ia mendonorkan darahnya untukmu.”
Kata dokter Aida sambil membelaiku lembut.
Punggungku
terasa nyeri sekali. Operasi dilakukan tanpa bius. Saat sadar, aku harus
menahan nyeri yang luar biasa dipunggung. Tepat di tempat terkena peluru. Air
mata keluar tak tertahan. Bahkan aku tak lagi mampu berpikir tentang apa yang
dikatakan dokter Aida. Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Aku hanya mampu
melihat Awan dan dokter Aida yang mulai berhenti berbicara karena melihatku
kesakitan. Tanganku meremas apapun yang kudapatkan. Sakit dan nyeri luar
biasa.
“Nan, aku tau
kau wanita tangguh. Kau pasti bisa menahan rasa sakitnya.” Kata Awan
menyemangati. Entah dari mana, aku merasa memiliki kekuatan. Aku mulai mampu
mengendalikan rasa sakit.
“Bagaimana
sayang?” Tanya dokter Aida. “Aku tak bisa menjagamu 24jam. Tetapi partnermu
mampu melakukan itu. Selama ini, dialah yang menjagamu. Aku harus mengurus
korban lain. Dan kamu tidak bisa keluar dari tempat ini dalam waktu dekat
karena daerah perbatasan telah diambil alih oleh musuh. Bagi orang sehat saja
cukup berbahaya untuk keluar dari sini. Jadi aku mohon, untuk kali ini saja.
Lupakan keras kepalamu.” Kata dokter Aida memaksaku untuk berpikir.
“Bagaimana
dengan waliku?” kataku sambil menangis. Pasrah tak berdaya dengan kondisi yang ada.
Kembali harus aku lakukan sesuatu yang tidak aku sukai.
“Kau tak
sadarkan diri selama 2 hari. Awan dan Suamiku keluar dari sini dengan
sembunyi-sembunyi. Mereka telah menghubungi keluargamu. Keluargamu menyerahkan
hak perwalianmu kepada suamiku.” Kata Dokter Aida.
Aku meminta
air sedikit untuk wudlu yang di bantu dokter Aida dan istikharoh. Air mataku
meluncur berkali-kali. Sakit di punggungku tak sebanding dengan luka dihatiku.
Setidaknya dengan pikiran tenang, logikaku mulai berjalan dan mencerna dengan
baik perkataan dokter Aida dan kenyataan di tempat.
“Baik dok.
Tetapi sebelumnya aku meminta kepada Pak Awan setelah keluar dari sini berikan
aku kebebasan kembali.” Jawabku mantap kepada dokter Aida dan Awan. Aku lihat
wajah lelaki yang terkenal cool itu terluka. Sorot matanya meredup. Maaf atas
perkataanku, tetapi aku tak membayangkan akan menikah dan hidup dengan seorang
lelaki.
“Kita lihat
saja nanti nan. Tak ada yang mengetahui masa depan yang terpenting sekarang kau
mau menikah.” Jawab dokter Aida.
“Tidak dok,
aku mau Awan berjanji.” Kataku tegas.
“Bagaimana
wan?” tanya dokter Aida kepada Awan.
“Kita lihat
nanti, jika keluar dari sini itu yang kau inginkan. Aku tak akan melarang. Kau
paham hukum islam.” Jawab Awan lembut.
Pernikahan
tanpa persiapan akan diselenggarakan. Tidak ada tenda, tidak ada tamu, tidak
ada makanan seperti halnya pesta pernikahan. Ini hanya sekedar ijab qobul lalu
selesai. Akupun tidak berhias, tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku harus
menjalani pernikahan aneh ini.
“Saya terima
nikahnya Ananda Rochmah binti Sulaiman dengan mas kawin surat Al Mulk dibayar
tunai.” Awan mantap mengucap. Serentak yang berada disana mengeucap, “SAH”.
Ada yang aneh
dihatiku. Entah apa. Aku sendiri tak mampu mendefinisikan perasaan apa ini.
Marah, haru, bahagia atau tertekan? Atau mungkin semuanya berkecamuk menjadi
satu. Sepertinya hatiku perang satu sama lain.
Dokter Aida
mendatangiku memberikan selamat dan mengganti perban. Sebelum perban diganti,
ia memanggil Awan. Ia ingin mengajari menggantikan perban. Aku belum terbiasa
dengan kehadiran Awan memintanya untuk tidak melihat sehingga menimbulkan
perdebatan anatara aku dan dokter Aida. Jika biasanya aku keras kepala tidak
terkalahkan. Sekarang aku pasrah, karena benar yang dikatakannya. Awan sudah
menjadi suamiku. Dokter Aida memintaku membuka baju bagian punggung. Ia
mengajari Awan dan memintanya mempraktekan. Ia melihat Awan begitu luwes dan
menitipkan tugas ini padanya. Setiap sentuhan ada hal yang membuat hatiku
bergetar. Tetapi disisi lain hatiku memberontak, aku tidak boleh begini. Aku tak ingin tersakiti
untuk kesekian kalinya.
Setelah
selesai, Awan menatapku hangat. Ia meminta kami untuk melakukan sholat sunnah 2
rekaat. Usai sholat ia mendoakan ku dan mengecup keningku. Air mataku meleleh.
Tak mengerti apa yang harusnya aku rasakan.
“Ananda
Rochmah binti Sulaiman, semoga kau selalu dalam lindungan Allah dan diberkahi
setiap langkahmu.” Kata Awan padaku. Ia meletakan tangannya dipipiku dan
mengusap air mata. Tanganku tak kuasa menghalanginya. “Bukankah hari ini
terasa begitu melelahkan bagimu? Tidurlah.” Kata Awan lembut menatapku.
Benar, hari ini sangat melelahkan. Terutama hatiku.
Kuputuskan merebahkan diri. Tidur menghadap kesamping. Kurasakan Awan menatap
dalam menjagaku tanpa putus.
Hari demi hari
lukaku mulai membaik. Aku bisa menjalankan tugas sebagai jurnalis. Tentunya
tidak hanya aku, tetapi kami. Beberapa tulisan terkumpul. Aku telah sehat dan
kami berencana untuk pulang sesegera mungkin.
Malam ini
lebih dingin dari biasanya hingga menembus selimut dan menusuk tulang. Wajahku mulai pucat
karena kedinginan. Awan melihatku. Mencarikan selimut tambahan. Tetapi nihil.
Bahkan selimut yang tersedia kurang untuk pengungsi. Ia memelukku dari belakang.
“Lepaskan...”
kataku pada Awan, mencoba memberontak namun gagal.
“Tenanglah,
tidak ada selimut. Besok kita keluar, kau tidak boleh sakit atau kita akan
memunda kepulangan.” Kata Awan lembut. Aku pikir apa yang dikatakannya benar.
“Nan... apa
boleh aku meminta kepadamu.” Kata Awan membisik ditelingaku. Tanpa sadar, akupun
mulai menikmati situasi ini.
“Iya, apa?”
jawabku pelan.
“Bolehkah aku
meminta kepercayaanmu?” katanya
“untuk apa?”
tanyaku.
“Untuk menjadi
pendamping hidupmu, menjagamu dan menyempurnakan agamamu. Aku bukan Daffa
ataupun Bima. Aku Awan. Aku berjanji tidak akan melukaimu.” Katanya lembut
penuh kesungguhan. Aku mendengarkan dengan penuh tanda tanya.
“Dari mana
kamu tau semua itu?” tanyaku.
“Saat aku
keluar untuk menghubungi keluargamu, aku telpon kantor dan menanyakan no
keluargamu. Aku ingat bahwa Salsa adalah teman baikmu. Aku bertanya padanya
alasanmu tidak mau menikah. Ia menceritakan semuanya. Sekarang dan di masa depanku, aku mau kau selalu menjadi
pendampingku. Saling menjaga iman dan berjalan bersama menuju ke surga-Nya.”
Kata Awan. Air mataku tak terbendung. Kata-kata yang keluar dari hati meluluh
lantakan logika. Aku mulai melepaskan semua yang menyesakan dada.
Mengakui bahwa selama ini akupun menyimpan rasa yang sama. Menyerah dengan
indah atas pemberontakan yang selama ini ku bangun. Aku tak mampu menjawab, hanya air mata
keluar tanpa henti. Pelukannya semakin kuat. Aku merasakan semesta bertasbih.
Aku membalikan badan. Mata kami saling bertatap. Pertama
kalinya aku melihat dengan seksama wajah orang yang menjadi suamiku. “Iya”
kataku. Malam begitu tenang dalam peluknya. Tak ingin segera berakhir. Tetap
saja sang Surya harus segera muncul.
Pagi bersinar. Kami harus segera keluar dari daerah ini dan kembali ke Jakarta. Perjalanan pulang terbilang lancar walaupun kami harus merayap melewati perbatasan. Menghindari penjaga. Awan memegang tanganku erat. Aku merasa aman berada didekatnya
Pesawat yang membawa kami pulang akhirnya tiba di Jakarta. Pak Rahmat dan Salsa yang langsung menjemput kami. Awan menggenggam tanganku kuat. Wajah Salsa berbinar, peluk hangatnya melukiskan rindu dan kekhawatiran yang amat sangat. Begitu juga Pak Rahmat dan Awan mereka saling berpeluk erat seperti seorang ayah yang bertemu anaknya.
“cieeee....
akhirnya kamu menikah juga.” Bisik Salsa ditelingaku.
“apa sih?”
jawabku tersipu malu.
“Doa orang
sekantor berarti kabul ya...” canda Salsa.
“Salsa....
udah dong. Suka banget godain orang.” Kataku.
Sementara aku
pulang ke kos dan Awan pulang ke kosnya. Setelah kami mengerjakan tugas
liputan, saya dan Awan mengambil cuti sepekan. Langkah pertama, kami mencari
rumah kontrakan yang tidak terlalu besar tetapi layak untuk ditempati berdua.
Awan
memperkenalkanku kepada keluarga besarnya di Yogyakarta. Setelah itu kami
berangkat ke rumahku. Berkenalan dengan keluarga besarku. Kami sepakat tidak
ingin ada pesta pernikahan besar-besaran. Cukup syukuran.
Ibuku akhirnya
mengeluarkan air mata bahagia. Aku mempersiapkan syukuran bersama
kakak-kakakku. Dan ibu ngobrol dengan Awan. Entah apa yang dibicarakan.
Mereka terlihat begitu serius.
Usai semua
acara, aku membuka leptopku mengecek email siapa tau ada tugas dari kantor. Aku
dan Awan melihat satu email masuk. Dari Daffa. Aku tak ingin membukanya. Awan
menasehatiku untuk tidak memutuskan pertemanan dan mengabarinya tentang
pernikahan kami. Agar ia tidak lagi berharap dan segera move on.
Nasehat itu
aku laksanakan. Dia membantuku menata kata-kata, agar meyakinkan aku sisipkan
gambar kami berdua. Maaf Daffa, semoga kamu mendapatkan yang terbaik. Karena
aku telah mendapatkan orang terbaik disisiku. Menjagaku dengan keimanan dan
kesabaran. Meluluhkan benteng yang aku buat dengan kesungguhan dan ketulusan.
Aku bersyukur tanpa henti. Allah telah mengirimkan seorang yang lebih dari
malaikat. Semoga cinta kami abadi seperti cinta Khadijah dengan Muhammad dan
Fatimah dengan Ali, mewangi ditaman surga yang hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar