Tahun ke lima aku mengabdi sebagai
seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Tepatnya satu setengah tahun aku membersamai
sekolah ini. Sekolah ini tempat ke dua aku mengabdi. Sebuah SMP favorit di
kabupaten tempat saya beranjak dewasa. Awalnya ditempat ini aku memulai dengan
sebuah niat hanya sekedar memberikan ilmu. Aku tidak lagi berminat mencampuri
urusan pribadi murid-muridku, terutama urusan keluarga mereka. Dua tahun 10
bulan pertama mengajar dengan banyak mencampuri urusan orang membuatku
kelelahan terlebih segala usahaku tak dianggap. Memulai langkah baru, cara
baru, dan pribadi baru. Awalnya semua berjalan seperti rencana. Mereka
murid-murid yang aku sayangi, dan aku adalah guru favorit mereka. Hanya sebatas
guru dan murid.
Dinding cat krem perpustakaan tempat
aku berdomisili di sekolah ini menjadi sebuah saksi. Seorang murid yang duduk
didepanku terdiam terpaku menunggu alasanku memanggil anak ini kesini.
Sebelumnya Baim datang dan bercerita bahwa Noer muram setelah dari BK.
“kenapa kamu tadi berada di BK?”
tanyaku.
“Dipanggil Bu Ntik, bu.” Jawabnya
sambil menunduk.
Lalu ku pandang wajahnya
lekat-lekat. Wajahnya menandakan sama sekali tak memiliki gairah hidup.
“Masih sama dengan kasus kemarin?
Atau ini lanjutan?” kataku. Wajahnya mendongak menatapku sekilas lalu
menunduk lagi. Aku tersenyum, pancingan pertama berhasil.
“Noer, Bu Nanda tau cerita
kasusmu. Dari awal kamu dipanggil sampai selesai, tetapi dari versi guru lain.
Sekarang saya mau konfirmasi ke kamu. Bagaimana cerita sebenarnya?” tanyaku.
“iya bu, dulu saya memang pernah
dekat dengan Elfira. Kita suka main bareng. Tetapi dengan teman yang lain juga
bu. Dulu pas main di Pasar Malam Fira ternyata takut dengan ketinggian, kita
tidak ada yang tahu. Posisi kita naik kurungan ayam dan sudah ada diatas. Pas
kurungannya mendadak berhenti dia teriak. Karena saya ada di sampingnya ya saya
puk-puk punggungnya sambil menenangkan. Hanya itu bu?” ceritanya.
“Oke... kenapa kamu pacaran?”
tanyaku
“Saya sudah tidak pacaran bu,”
katanya membela.
“Kalau begitu kenapa kemu
bolak-balik di panggil BK?” tanyaku dan Noer tetap diam. “Bu Nanda tahu kamu
memiliki alasan kenapa melakukan itu? Kamu pacaran dan itu adalah pelarian?
Benar?” lanjutku dan dia mengangguk. “Kenapa?”
“Orang tua saya sering bertengkar
dirumah bu. Saya pulang sering melihat Bapak dan Ibu saling mendiamkan. Dulu
waktu Bapak dan Ibu tidak tau saya pulang lebih awal, saya pernah mendengar
mereka bertengkar bu” Katanya.
“Emmm... begitu. Seberapa sering?”
tanyaku.
“dalam sebulan pasti pernah.”
Jawabnya.
“Begini nak. Orang tua terkadang
juga memiliki perbedaan pemikiran dalam menghadapi masalah, dan buruknya
beberapa mereka bersikap tidak bijak dengan memperlihatkan pertengkaran didepan
anak. Padahal setelah bertengkar mereka akan bersikap biasa saja. Dan kamu yang
melihat masih terus merekam pertengkaran mereka.” Jelasku.
“Pertengkaran mereka sering bu”
jawabnya menunduk lesu.
“Lihat saya, sekalipun
pertengkaran mereka sering. Serius ataupun tidak. Takdir mereka bukan tanggung
jawabmu. Tanggung jawabmu adalah menjalankan tugasmu adalah mendoakan mereka
sebagai anak, beribadah sebagai hamba. Jalanmu masih panjang. Kamu masih 13
tahun. Kalau kamu sibukan diri dengan pacaran, bolak-balik BK, lesu saat
pelajaran, siapa yang rugi?” tanyaku menatap tajam.
“saya, bu.” Jawabnya.
“lihat badanmu, sudah berapa kg
kamu kehilangan berat badan?” apa kamu kira saya tidak memperhatikanmu? Berat
badan turun, tidak lagi memperhatikan pelajaran dan nilai anjlok.” Kataku.
“tidak tau bu, saya belum pernah
nimbang belakangan ini. Kata teman-teman memang saya sekarang kurus. Mau makan
dirumah jadi tidak nafsu bu” Wajah muramnya mulai cerah, mungkin karena merasa
ada yang memperhatikan.
“Boleh saya beri saran?” kataku.
“iya bu” jawabnya
“Bu Nanda beritahu berdasar
beberapa pengalaman. Jangan pernah hancurkan dirimu dan masa depanmu demi
siapapun, termasuk orang tuamu. Hidupmu kelak akan kamu pertanggung jawabkan
kepada Allah. Jika kamu hancurkan hidupmu sekarang, kelak ketika kamu dewasa
kamu akan dianggap pecundang, kamu akan dibully orang-orang termasuk orang
tuamu. Berkembanglah agar terus mampu menjadi orang yang diandalkan.”
“iya bu” jawabnya dengan nada
mulai bersemangat.
“oh iya, biasanya kamu habiskan
waktu pulang sekolah dengan apa?” tanyaku.
“Les bu, saya Les di dua tempat
dari senin sampai jum’at” jawabnya.
“Nilaimu naik tidak?” tanyaku
“tidak bu” jawabnya
“kenapa?”tanyaku
“sering tidak fokus bu.” Jawabnya
“di kelas saja tidak fokus apalagi
di tempat les. Begini nak, jangan habiskan waktumu untuk hal sia-sia. Dua tempat
les itu terlalu banyak. Lebih baik gunakan waktumu untuk sesuatu yang kamu
sukai dan kamu tau itu bisa kamu tekuni. Jadi kamu keluar rumah happy,
setidaknya sampai kamu pulang.”
“iya bu.” Jawabnya bersemangat
“coba pikirkan apa yang kamu
sukai?” tanyaku
“aku suka Taekwondo bu, seperti
Dzul. Dulu saya ikut itu terus berhenti.” Jawabnya
“kalau begitu setelah ini kamu ke
tempatnya Dzul tanya kalau mau ikut disana lagi bagaimana caranya? Semoga
sukses.” Kataku.
Setelah Noer pergi, aku kembali
larut dengan pekerjaan yang terhenti. Ya Allah, sekuat hati saya menahan diri untuk tidak ingin terlalu
dalam ikut campur dengan urusan orang lain. Hari ini karena nuraniku terusik,
lagi-lagi aku ikut campur. Tetapi rasanya berbeda.
Dulu tahun-tahun awal saya
mengajar, ketika mendapatkan masalah seperti ini didalam otak saya adalah ingin
bertemu dengan orang tuanya lalu menceritakan apa yang terjadi dengan anaknya
dan berharap mereka berubah. Hari ini aku sadar, bahwa kita tidak mampu membuat
orang lain sesuai dengan keinginan kita, dan saya bahasakan ini kepada Noer.
Bahwa kitalah yang seharusnya berubah, kita harus bisa menerima kenyataan dan
menghadapi dengan tegar. Apakah nasehat saya dipakai atau tidak, sejujurnya
saya tidak terlalu penasaran. Karena itu adalah hidupnya Noer.
Pertama kali saya mengingat Noer
ketika awal pembelajaran kami dikelas 8. Kelas 7, dia bukan murid yang saya
ajar. Namanya yang unik membuat saya sekali salah mengeja namanya lalu dia
mendapat julukan ‘Noer bukan Nur’. Tahun seperti ini masih ada anak yang
bernama ejaan lama, bukankah itu sebuah keajaiban? Terlebih anak yang ceria dan
selalu meminta perhatian. Sebenarnya secara fisik, ia termasuk murid yang
tampan. Berkulit kuning langsat, tinggi dan sopan. Tentu mengundang banyak
murid wanita tertarik. Tidak heran kalau seandainya dia masuk BK dengan kasus
pacaran. Tetapi pacaran diusianya itu terasa masih terlalu dini. Usia 13 tahun,
bukankah itu usia emas untuk berkembang? Sebagai guru tentu aku berharap yang
terbaik untuk Noer dan murid-muridku yang lain.
Dua minggu setelah pertemua ini,
Noer benar-benar kembali ke dunia taekwondo. Semoga berhasil.
Nb: nama disamarkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar