Riuh suara
menggema dikelas satu. Bulan ini adalah bulan pertama mereka berstatus sebagai
siswa SD. Seperti biasanya ada yang menangis meminta pulang, minta ditunggui
orang tuanya, berkelahi lalu dalam beberapa detik kemudian main bersama kembali,
ataupun sekedar berebut mainan. Namun banyak pula yang sudah akrab dengan teman
baru, bermain bersama dan berkenalan dengan guru serta kakak kelasnya. Unik. Setiap
siswa memiliki pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda, baru
kali ini saya mampu membuktikan kebenaran bahwa anak adalah gambaran pola asuh
orang tuanya. Tiga puluh tujuh siswa yang hebat hari ini dengan karakter yang
unik membuatku tertantang untuk mampu menaklukan mereka. Mata penuh sinar
kepolosan tanpa dosa, tubuh mungil yang tiada henti bergerak membuatku terpana
dengan ciptaan Allah. Mana mungkin aku tak sayang dengan mereka?
Kulihat satu
bangku masih setia diduduki oleh pemiliknya, sosok anak yang terlihat mungil
dengan mata bulat. Hati menggerakanku mendekati anak ini, “namanya mas siapa?”
tanyaku lembut.
“Utsman.” Jawabnya.
“Mas Utsman,
main itu sama temennya.” Kataku memintanya mencoba bersosialisasi dengan yang
lain. Dan jawabannya hanya senyum.
“Itu main sama
mas Naufal ya...” tunjukku kepada salah seorang anak yang sudah aku kenal
sebelumnya. Utsman mulai bergerak dari tempat duduknya.
“Mas Naufal,
mas Utsman diajak main ya...” kataku kepada Naufal.
Kulihat Naufal,
Utsman dan Rizal mulai bermain bersama. Berjalan diantara meja dengan meja. Kaki
kanan naik dikaki meja sebelah kanan dan kaki kiri naik dikaki meja sebelah
kiri. Lalu kaki kanan maju ke kaki kursi sebelah kanan dan kaki kiri maju ke
kaki meja sebelah kiri. Terus berjalan menyusuri gang sampai ujung lalu
diulangi lagi. Simpel. Tak perlu hal aneh untuk menikmati hidup, setidaknya
itulah yang aku pelajari dari keceriaan mereka. Aku dan teman-teman
mengutamakan penanaman aqidah kepada anak-anak. Kebetulan kami memulai tahun
ajaran ini di bulan Ramadhan. Pertanyaan sama dan berulang yang sering kami
tanyakan kepada siswa diharapkan mampu memotivasi mereka untuk melakukan hal
itu.
“siapa yang
hari ini puasa angkat tangan?” kata Ustadzah Via kepada anak-anak. Mereka yang
berpuasa antri angkat tangan sedangkan ustadzah Via sibuk menuliskan satu
persatu nama anak yang angkat tangan.
“siapa yang
hari ini puasa sehari penuh?” Tanya ustadzah Via. Kami menganggap pertanyaan
ini adalah pertanyaan berhadiah. Jika ada anak yang angkat tangan, aku anggap
ini adalah hadiah dari Allah karena telah menitipkan anak hebat di kelas 1. Seusia ini kebanyakan anak baru latihan puasa dengan berpuasa setengah hari. Beberapa
anak angkat tangan dan kami apresiasi kerja mereka dengan bintang prestasi.
Bulan puasa
hampir meninggalkan kita, itu juga berarti libur segera tiba. Antara sedih atau
senang. Sepertinya sekarang sulit mencari orang yang sedih jika ditinggalkan
bulan ramadhan. Tradisi sekaligus ibadah yang ditanamkan Rasul disepuluh hari
bulan ramadhan untuk memperbanyak ibadah telah berganti menjadi benlanja
persiapan lebaran. Seolah ketika lebaran tiba semua orang telah merdeka. Merdeka
dari sebuah aturan yang membelenggu yang disebut puasa? Ataukah benar-benar
merdeka dari hawa nafsu? Hanya setiap diri yang mampu menjawabnya.
Sekolah telah
menyapa meminta semua anggotanya segera memasuki ruangan. Bel berbunyi. Hari pertama
setelah sebulan puasa, kami mulai dengan upacara dan halal bi halal. Usai upacara,
siswa putri berjabat tangan dengan ustadzah dan siswa putra berjabat tangan
dengan ustadz.
Siswa duduk
dikelas dengan ramai, bahkan ada yang berlarian. Sepertinya memang lebih mirip
TK dari pada SD. Wajar karena masih banyak siswa berusia dibawah 7 tahun. Saya dan
Us Via membuka kelas, menyapa ringan. Murojaah dan bernyanyi. Dan kebiasaan
wajib saya adalah bertanya. Bukan masalah pelajaran, tetapi lebih pada masalah
kebiasaan agar menjadi pembiasaan.
“Siapa yang
puasanya full? Angkat tangan” sekelas diam. Tak satupun angkat tangan. Aku tersenyum
maklum.
“Yang
bolongnya Cuma satu hari?” masih belum ada yang angkat tangan.
“Dua hari?”
satu anak angkat tangan. Dia adalah Utsman. Sampai pada pertanyaan ini pun saya
masih mencoba tanya-tanya berhadiah. Dan Allah memberikan kami hadiah istimewa
hari ini. Anak titipan yang Istimewa bernama Utsman telah menjalankan puasa
ramadhan penuh.
Aku yang masih
tak percaya, mencoba bertanya kepada Utsman tantang puasa ramadhan. Dia bercerita
bahwa disuruh orang tuanya untuk puasa dan dia menyepakatinya karena mau
disayang Allah. Dua hari tidak puasa karena sedang sakit. Mataku haru. Sungguh luar
biasa orang tua yang mampu mendidik anak seperti ini. Kutemukan anak-anak dari
surga, padanya terpikul harapan bahwa negeri ini mampu meraih kejayaan. Agama ini
mampu meraih kembali kemuliaannya.
Semakin tinggi
pohon, akan semakin kencang angin menggoyangkan. Begitu pula dengan keimanan. Semakin
kuat keimanan seseorang Allah akan mengujinya dengan ujian yang lebih berat
terus seperti itu agar ia mendapatkan keimanan. Seperti itu pulalah Utsman. Karakter
pendiam dan selalu mengalah membuat teman-teman yang usil selalu menjailinya. Dan
anehnya, Utsman tak pernah marah ataupun menangis. Ia diam, walaupun sesekali
terlukis kesedihan diraut wajahnya.
Bagi anak
seusia Utsman, buku pelajaran disembunyikan teman, menulis lalu dicoret-coret
dan diejek merupakan ujian tersendiri. Kebanyakan anak ketika mengalami hal itu
menangis, atau mengamuk. Tetapi tidak dengan Utsman. Pilihannya untuk Diam
tentu saja beralasan. Pernah ketika dalam puncaknya, peci Utsman diambil salah
satu teman.
“Hiiiii....
peci Utsman bau....” teriak Iqbal. Lalu dilempar peci itu ke Daffa.
“Iya...
hiiii.... bau...” teriak Daffa dan melempar ke teman yang lain. Beberapa anak
kelas yang terprovokasi oleh Iqbal dan Daffa membuat Utsman menjadi
lempar-lemparan dan ejekan.
Kali ini kulihat sinar mata Utsman meredup dan hampir meneteskan air mata. Setelah
aku dapatkan peci Utsman, kuserahkan Daffa dan Iqbal kepada wali kelasnya.
Kulihat Utsman
yang masih berdiri di tempat yang sama. Tak tahan melihatnya. Aku memeluk
Utsman.
“Mas Utsman,
maafkan mas Daffa dan Mas Iqbal ya...” kataku.
“Iya us...
sudah aku maafkan.” Katanya lembut berbisik ditelingaku.
“Mas Utsman,
InsyaAllah menjadi generasi penerus Usman bin Affan ya...” kataku, ia menjawab
dengan senyuman. Aku lihat sorot matanya berubah, dari kesedihan menjadi bahagia
penuh semangat.
Hampir tak
tahan air mata mengalir. Ada rasa kagum. Lega. Simpati. Dan juga iri. Bagaimana
aku tidak iri dengan anak sekecil ini yang Allah berikan kelapangan dada seluas
Bumi? Maaf seluas langit? Dan jiwa teduh lebih sejuk dari embun pagi? Allah...
jika teguhkan anak ini selalu dijalanMu.
Hari pengambilan
rapot kenaikan kelas tiba. Utsman mendapatkan ranking 8 dikelas. Bukankah Allah
selalu menolong hamba-Nya yang Ia cintai. Utsman dengan usia dibawah tujuh
tahun, tidak pernah mencontek dan tidak pernah mau memberi contekan, mengerjakan
soal selalu dengan jujur. Bahkan orang tuanya sendiri sempat ragu untuk
memasukannya ditahun itu, kini telah membuktikan kemampuan dirinya. Ia bisa.
“Bu... saya
lihat mas Utsman itu selalu dijaili dengan teman-temannya tetapi tidak pernah
membalas. Ia juga pendiam.” Kata Us Via kepada orang tuanya.
“Iya us, saya
selalu mengajari Utsman kalau dinakali temennya tidak usah dibalas, dimaafkan
saja. Didoakan biar tidak jail lagi. Di rumah, mas Utsman juga sering cerita.” Jelas
Ibunya Utsman.
Anak adalah
gambaran pola asuh orang tuanya. Kewajiban mereka mendidiknya dan mencarikan lingkungan bermain yang
islami. Hatinya yang suci seperti mutiar yang masih utuh, belum dipahat maupun
dibentuk. Ia mudah dibentuk dalam bentuk apapun. Jika kita tanamkan kebaikan
kepadanya, maka ia akan tumbuh dalam kebaikan. Jika kita tanamkan keburukan
padanya, maka ia akan tumbuh dalam keburukan.
nb: terinspirasi dari kisah nyata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar