Aku berada
pada saat yang tidak beradaya. Seorang anak datang kepadaku bersama rasa sakit
yang ia deritanya. Fisiknya baik-baik saja, bahkan tampak sangat kuat yang
sakit adalah satu sisi tak nampak dalam hidup yang hingga kini para ilmuan pun
tak tahu dimana letaknya. Ia bernama hati. Luka itu sangat dalam menyayat hati
hingga sikapnya berbeda dengan anak yang lain. Ia berdiri tepat didepan mataku
dengan membawa kain pel untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya melanggar
peraturan sekolah.
Tuhan betapa
aku ingin menolongnya. Perbincangan ini kami mulai dengan bahasan ringan,
tentang siapa namamu, dimana rumahmu, kenapa dihukum, dan pertanyaanku diakhiri
dengan siapa nama orang tuamu. Ringan ia menjawab, “aku tidak punya orang tua”.
Berdesir hatiku mendengar jawabannya. Sorot mata yang bersinar penuh dendam dan luka. Luka yang mungkin tidak pernah aku dan ia
inginkan. Disinilah letak permasalahan yang sebenarnya.
“kok gitu...
masak orang tua kok didoain biar cepet mati, eh nanti jadi anak durhaka lho...”
jawabku dengan nada ringan menutupi hatiku yang gejolak.
“eh nggak ding
bu, ibuku biar tetep sehat dan bahagia. Tapi bapakku biar cepet mati juga gak
apa-apa” jawabnya. Astaghfirullah terdapat jawaban yang menguak sakitnya
dengan lebih dalam.
“kok gitu...
emang bapak kamu kemana?”
“bapak pergi
jauh... gak ada kabar, mungkin udah mati...”
Pembicaraan
terhenti saat aku dipanggil oleh pak BP yang menyuruhku mengantar sesuatu
kekelas XA.
Ini sebuah
pelajaran luar biasa untukku, wahai kaum hawa... jangan mau kau diperbudak
dengan nafsu yang beratas namakan cinta. Hingga suatu saat kau menyesal dan
mengalami luka. Lebih parahnya kau mambawa anakmu dalam lubang penderitaan itu.
pilihlah lelaki yang baik agamanya dan bertanggungjawab.
Saat kembali
ke ruang hukuman itu, Ridwan selesai melaksanakan hukumannya. Ya... Ridwan nama
anak itu. Tidak baik jika ku lanjutkan pembicaraan dengan mengacuhkan jam
pelajaran yang harus Ridwan jalani. Inilah satu hal terkuat mengapa aku mau
bekerja sebagai staff BK disalah satu sekolah pinggiran kota. Aku ingin
menyelamatkan anak-anak seperti Ridwan agar mereka punya masa depan.
Aku meminta
masalah ini segera ditangani oleh kepala BK disana, namun responnya negatif. Ia
tak mau menanganinya dengan alasan, “bisa berbuat apa kita, itu adalah takdir
Tuhan untuknya”. Dan aku kembali bersikap tegas, “maaf pak, alasan saya mau
bekerja disini adalah untuk ini. Ilmu saya tidak akan bermanfaat jika saya
tidak bisa menyelamatkan mereka. Jika memang bapak tidak mau menanganinya biar
saya yang menanganinya.” Dan akhirnya dengan itu, kepala BK disana bersedia
menangani kasus tersebut. Dan aku sebagai pelaksana lapangan.
Aku mulai
dengan satu langkah, pagi ini. Surat panggilan itu datang ke kelas XI IA 1.
Menyuruh Ridawan keluar dan menemuiku. Pertemuan itu berlanjut di kantin
sekolah. Ku korek informasi tentang Ridawan dan keluarganya. Dan aku menemukan
satu titik terang yang akan ku ceritakan nanti saat aku berkunjung ke rumah
Ridwan. Biar kalian dengar sendiri cerita ini dari ibunya Ridwan
Siang ini,
matahari tak begitu menyengat tapi tetap cerah. Aku berjanji kepada Ridwan
untuk main ke rumahnya. Dan disanalah aku akan menemui keluarganya. Disana aku
menemui sesosok wanita yang berusia hampir 40 tahun sedang menjemur padi. Ini
musim panen. Di rumah seribu jendela itu, aku berbicara dengan ibu Rodiyah.
Ibunya Ridwan. Aku mulai dengan sedikit basa-basi dan menyasar ke permasalahan
inti.
“mohon maaf bu
Rodiyah, jika boleh saya bertanya dimana bapaknya Ridwan ya bu?” ku tatap wajah
ibu itu, matanya nanar.
“bapaknya
Ridwan pergi. Dari Ridwan usia 10 tahun. Bapaknya itu tukang mabuk, setiap hari
pulang dengan keadaan mabuk, ia juga tidak mau bekerja. Setiap pulang adanya
Cuma marah-marah. Ndak Cuma itu, ia juga gak segan-segan memukul kalo saya ndak
mau menuruti kemauannya. Hingga pada hari itu, Ridwan yang masih 10 tahun
bermain di ruang ini saat bapaknya pulang dalam kondisi setengah mabuk. Saat
melihat Ridwan yang asik bermain mobil-mobilan dengan suara agak keras, ia
membating Ridwan hingga Ridwan pingsan dan darah membanjiri seluruh kepalanya.
Dan hingga kini luka itu masih membekas. Setelah kejadian itu, bapaknya Ridwan
tidak menampakan dirinya. Dan saya segera mengurus surat perceraian. Saya dan
Ridwan tidak berharap dia kembali lagi. Kami sudah bahagia hidup seperti ini.”
Cerita Bu Rodiyah.
“ lalu Ridwan
sekolah dengan biaya siapa bu?”
“ridwan
disekolahkan oleh pak dhenya. Itu rumah pakdhe nya. Saya sendiri bekerja
seperti ini Cuma cukup buat makan sehari-hari. Jadi pakdhenya Ridwan ini sangat
membantu saya bahkan dalam menggantikan peran sebagai bapaknya.”
“mohon maaf
sebelumnya, bukan maksud saya mencapuri urusan keluarga ibu. Tapi yang saya
lihat, Ridwan itu trauma dengan kejadian itu. mungkin karena itu, ia
berperilaku sedikit nakal dan tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Mungkin
karena ia juga merasa kurang kasih sayang.”
Dan mata nanar
itu kini membasahi pipi denga air, “saya juga bingung bu... mau mengajari
Ridwan, saya sendiri bodoh. Saya Cuma pingin ia bisa pandai dan menjadi orang
sukses. Saya mungkin bukan ibu yang baik buat Ridwan, tapi saya berusaha yang
terbaik untuk dia.” Suaranya sengau karena perih yang sudah tidak tertahan.
Dari balik
pintu, Ridwan sedang menangis merenungi kesalahannya. Ibunya bekerja siang
malam untuk memenuhi kebutuhannya namun ia belum bisa membanggakan ibunya. Ia
keluar dari balik pintu, ia bersimpuh di kaki sang ibu dan meminta maaf. Dengan
suara sengaunya, Ia berjanji akan menjadi anak yang baik, akan rajin belajar
dan menjadi orang sukses seperti keinginan ibunya. Mungkin persepsi semua orang
Ridwan tak lebih dari anak nakal. Tapi inilah kekuatan ibu, tapi ia adalah anak
yang berbakti.
Dan ijinkan
saya membuka rahasia nama Ridwan. Malam itu, seorang bayi lahir dari satu rumah
kecil namun bahagia. Sang ayah yang bertanggung jawab berjuang membawa bidan
malam hari saat hujan lebat untuk menolong persalinan istri tercintnya. Rumah
yang orang bilang bahagia walaupun minim pemahaman agamanya. Saat suara bayi
menggelegar memecah keheningan pertand a lahirnya seorang anak yang dinantikan.
Kedua orang tuanya berharap anak ini menjadi malaikat yang mempersilakan kedua
orang tuanya ke surga. Maka mereka menamakan anak ini dengan nama Ridwan,
malaikat penunggu pintu surga. Dan doa malaikat mengamininya.... walaupun ia
akan hidup didunia yang berat namun kelak ia akan membawa orang tuanya ke
surga. Ridwan akan menjadi anak yang berbakti dan pemaaf walau luka hatinya
begitu dalam. Dalam catatan Tuhan ia kelak akan menjadi seorang kaya yang
dermawan dan berbakti kepada orang tua. Cinta Allah bersamanya didunia...
Ujian akhir
semester telah usai, hari ini raport di berikan kepada wali murid
masing-masing. Hari ini hari istimewa untuk Ridwan, ibu tercintanya
mengusahakan mengambil sendiri raport Ridwan. Dan Ridwan membuktikan janjinya.
Ia mendapatkan 10 besar semester ini. Kini air mata yang keluar dari mata bu
Rodiyah adalah air mata kebahagiaan. Bangga terhadap anak semata wayangnya.
Pujian dari guru dan temannya meluncur tanpa henti. Ridwan yang baik, pintar dan
berbakti.
Dan lihatlah
apa yang diazamkan dalam hatinya. Ia berazam semester depan akan mencetak
prestasi yang lebih baik lagi. Untuk Allah dan untuk ibunya. Dan janji itu
terpatri didalam hati.
Wahai kaum
hawa... ditelapak kakimu dititipkan surgaNya. Rawatlah anakmu menjadi anak yang
sholeh-sholehah karena ia hanyalah titipan Allah untuk kau bimbing. Berilah ia
kasih sayang karena kekuatan sayangmu adalah kekuatan sayang terbesar didunia
ini untuk anakmu. Dan itulah sebagian dari 1 cinta yang Allah turunkan didunia.
Dan Allah masih memiliki 99cinta. Mencintailah dan berkasih sayanglah... karena
anakmu berhak mendapatkannya.