Pagi dengan suasana agak mendung membuat orang malas melakukan
pekerjaan. Tapi ini tak berlaku padaku. Pekerjaan pagi yang tidak bisa
ditunda dan sudah menjadi kebiasaan. Mencuci piring, menyapu,
beres-beres rumah dan diakhiri dengan bersiap mengajar. Seperti biasa,
pagi ini aku dan ibu sarapan bersama sambil mengobrol tentang apa saja.
Hari ini ku amati dengan teliti wajah seorang wanita berusia 65 tahun
yang dipenuhi garis keriput. Wajah seorang wanita yang melahirkanku,
kini sudah mulai menua. Namun wajahnya tetap teduh.
“Nan, kamu sudah punya calon belum?” tanya ibu. Pertanyaan yang menohok hatiku begitu dalam. Aku terdiam sejenak.
“Belum bu.” Jawabku.
“Ibu
harap kamu segera menikah dan punya anak. Mumpung ibu masih hidup dan
kuat.” Kata ibuku yang sekali lagi menohok tepat berada di titik nadi
kehidupan. Dan aku kembali terdiam sejenak.
Akhirnya
akupun merasakan menjadi seorang wanita berusia 25 tahun dengan status
lajang. Aku memaklumi keinginan ibuku. Dari ke tiga saudaraku, tinggal
aku yang berlum menikah dengan kondisi ibu yang mulai menua. Keinginan
setiap orang tua terhadap anaknya terutama kepada putrinya adalah
melihatnya menyempurnakan setengah Dinnnya, hidup normal dan bahagia
bersama keluarga kecil. Dan pertanyaan ini yang paling membuatku
bergejolak. Karena hal ini dipertanyakan langsung oleh ibuku dan menohok
langsung tepat dititik terdalam. Sedangkan akupun tak tau jawabannya.
“Nan... ibu ingin merasakan menggendong cucu darimu.” Kata ibu. Dan aku menahan air mata.
“Doakan Nanda bu... moga jodoh nanda segera datang.” Jawabku.
“Ibu
doakan kamu setiap hari, usahakan juga setiap saat. Kenapa setiap orang
yang datang selalu kamu tolak? Kamu mau yang seperti apa? Kalau memang
tidak mau dicarikan, segera cari sendiri. Ibu tidak mau kamu dibilang
anak yang sombong selalu menampik orang yang datang.” Kata ibu. Dan aku
masih diam seribu bahasa menahan rasa bersalah belum mampu memenuhi
keinginan ibu.
Bukannya aku berniat untuk menampik setiap
lamaran yang datang. Aku hanya belum menemukan orang yang tepat dengan
visi misi hidup untuk menempuh jalan yang lain dari kebanyakan orang.
Syaratku simpel, aku ingin menempuh jalan Ilahi. Fokus dengan tujuan
utama hidup. Karena hidup hanyalah sendau gurau.
Nasi dipiring sudah pindah ke perut. Dan akhirnya aku punya alasan untuk pamit.
“Assalamu’alaikum, Nanda berangkat ke sekolah dulu bu.” Pamitku sambil cium tangan.
“Wa’alaikum salam. Iya... hati-hati.” Jawab ibu.
=============================================================================
“Assalamu’alaikum
ustadzaahhh....” sapa Yazakka. Salah seorang murid. Wajahnya yang
teduh, imut dan selalu ceria seperti di berkahi cahaya surga membuat
hati damai. Sejenak melupakan masalah.
“Wa’alaikum salah sholeh...” jawabku.
Tut tut tut tut... HP berdering. Hp jadul yang telah menemaniku sejak MAN hingga kini. Sms masuk. Segera kupencet tombol buka.
Assalamu’alaikum Nan...
Apa kabar? Aku sudah menyelesaikan sekolah S2 ku.
Dan sekarangaku sudah di Indonesia. Bolehkah aku bertemu?
Tak terasa sudah 2 tahun berjalan sejak pesan dari facebook itu. Ada
yang aneh didalam hatiku. Berdesir. Rasanya bercampur. Senang, kaget,
harap, takut. Ah... harapan itu mucul kembali. Orang pertama yang aku
istikharohi. Dan kini muncul kembali. Menjawab semua penantian.
Penantian? Sebuah kata yang mungkin selama ini tidak aku sadari.
Menjalani hidup apa adanya, tak memikirkan jodoh walaupun telah banyak
orang hadir dan ibu memintaku segera melengkapi setengah dinn. Sekarang
baru aku sadari, alam bawah sadarku menanti sebuah kepastian yang
tertunda. Bukankah dulu aku tak mau karena menunggu selama 2 tahun. Dan 2
tahun kini telah terlewati. Semoga ini adalah titik terang jalanku
memenuhi keinginan ibu. Daffa. Ia mengembangkan senyumku pagi ini.
Wa’alaikum salam. Alhamdulillah bi khoir.
Congratulation. Semoga gelar dan ilmunya
Barokah. bagaimana dengan kabarmu?
Aku ketik tombol sent. Sms terkirim ke no Daffa. Satu detik, dua detik,
tiga detik. Jantung terasa berdebar. Dan aku tak pernah merasakan waktu
begitu lamban bergerak. Hingga akhirnya Daffa membalas smsku.
Aaamiiin... Alhamdulilah aku sehat.
Setelah sampai di Indonesia, kamu adalah
Salah satu orang yang seegra ingin aku temui.
Bolehkah aku main ke rumah?
Hap hap sirrrr.... rasanya ada yang bergejolak tak karuan di dalam
dada. Senang, berharap ia kembali untuk melanjutkan niatan yang tertunda
dulu. Aku balas:
Boleh... silakan. Kapan mau main?
Aku terus menatap layar hp. Menunggu balasan. Daffa membalas
Bagaimana kalau nanti? Kamu pulang sekolah jam berapa?
Hatiku semakin tak karuan. Akupun membalas:
Insya Allah jam 3 sudah sampai rumah.
Sambil menunggu jam mengajar, aku bersimpuh dihadapan Allah. Berdoa dan
berdzikir. Menenangkan hati yang tak karuan. Aku tak mau dihinggapi
nafsu hingga hilang akal sehatku. Dhuha. Setelah membaca doa sholat
dhuha, aku meminta kepada Allah.
Rabb... sungguh aku
pasrah dengan takdirMu. Bantu aku mengendalikan hati. Jika ia adalah
orang yang Kau takdirkan untukku maka mudahkanlah prosesnya. Namun jika
ia bukan jodohku maka mudahkanlah prosesnya dan jauhkanlah ia, dekatkan
jodohku dan ikhlaskan aku menerima semua ketentuan-Mu.
Waktu
terasa begitu cepat berlalu. Bel pulang sekolah berbunyi. Setelah
menyelesaikan beberapa hal di sekolah, aku segera menaiki beat putih
untuk pulang.
Begitu sampai dirumah. Aku melihat sosok
yang aku kenal dulu. Orang bertubuh tinggi. Berkulit sawo matang.
Senyumnya dan bahasa tubuhnya masih sama seperti dulu. Bedanya ia lebih
terlihat kurus sekarang. Laki-laki itu sedang ngobrol dengan ibu. Entah
apa yang dibicarakan. Tapi mereka terlihat begitu akrab.
“Nah itu Nanda datang.” Kata ibu.
“Assalamu’alaikum...” salamku sebelum masuk ke rumah.
“Wa’alaikum salam...” jawab ibu dan Daffa.
“Sana tasnya diletakan dulu, langsung kesini ya...” kata ibu.
“iya
bu..” jawabku. Aku segera menghilang dari ruang tamu. Masuk ke kamar
dan meletakan tas. Agak lama dikamar. Aku beri hatiku ruang agar bisa
mengendalikan diri.
Aku duduk disamping ibu. Sejenak kami
diam seribu bahasa. Mungkin membiarkan diri mengendalikan hati
masing-masing. Hingga suara Daffa memecahkan suasana.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu Nan?” tanyanya basa basi membuka percakapan.
“Alhamdulillah lancar. Bagaimana dengan kuliahmu? Katanya kamu menjadi salah satu lulusan terbaik?” tanyaku.
“Iya
Alhamdulillah... bahkan aku ditawari untuk melanjutkan S3 disana.
Tapi....” kata-kata Daffa terpotong. Seolah bibirnya kelu untuk
berbicara.
“Tapi, kenapa?” kataku.
“Tapi.... aku tak ingin menunggu terlalu lama. Aku... aku ingin... melanjutkan pembicaraan kita 2 tahun lalu.” Jawabnya.
Kami terdiam sejenak. Aku menata hati. Dan Daffa, mungkin ia sedang menata kata.
“Aku
ingin kamu mempertimbangkan. Sekarang aku sudah lulus, akupun telah
ditawari pekerjaan di salah satu perusahan. Sekarang aku siap untuk
melamarmu tanpa batas waktu.” Katanya agak terbata. “Aku menunggu
jawabanmu Nan...” lanjutnya.
Aku berpikir sejenak. Memang sebenarnya aku sangat mau menjawab ‘YA’.
“Aku minta waktu untuk berdiskusi dengan Allah.” Jawabku.
“Berapa lama?” tanyanya.
“Besok, aku jawab besok.” Jawabku. Dengan wajah menunduk. Tak mampu melihat wajah orang yang berada didepanku.
Sepulang Daffa, aku sholat istikharoh. Meminta kemantapan hati. Aku berbincang kepada ibu meminta pertimbangannya.
“Menurut
ibu, Daffa anak yang baik, taat beragama, pintar, dan bertanggung
jawab. Yah... semoga dia memang benar jodohmu.” Kata ibu memberi
pertimbangan.
Tak berpikir panjang. Aku sms Daffa untuk memberi jawaban.
Assalamu’alaikum.
Setelah istikharoh dan mendengarkan beberapa pertimbangan, aku setuju
untuk melanjutkan proses ini. Terimakasih.
Daffa membalas
Alhamdulillah...
semoga proses ini lancar. Besok aku akan membawa keluarga untuk datang
melamarmu secara resmi. Jam 4 sore. Semoga kamu dan keluarga tidak
keberatan
Bahagia tak terkira membuncah didalam hati. Penantian yang selama ini tertunda sepertinya telah terjawab. Aku membalas sms:
Insya Allah. Saya dan keluarga siap menerima kedatangan kamu dan keluarga.
Waktu
yang dinanti akhirnya tiba. Daffa datang beserta orang tuanya. Ibunya
melihatku acuh. Tetapi ayahnya begitu ramah. Pertemuan keluarga Daffa
dan keluargaku berjalan lancar. Tidak menimbulkan pertengkaran antar
keluarga walaupun akhirnya, aku dan Daffa tak jadi bersatu. Ya... inilah
takdirku. Hati yang berbunga kandas begitu saja. Diluluhlantakan dengan
ketidaksetujuan ibunya Daffa.
“Bagaimana? Apakah lamaran kami diterima?” kata pak Rahmat, ayahnya Daffa.
“Kami terima.” Jawab Mas Nur, kakak laki-laki tertua.
“Kalau begitu sekarang bisa kita diskusikan tanggal pernikahan anak-anak kita bu?” kata Pak Rahmat kepada ibu.
“iya
boleh, kalau saya usul disegerakan saja. Anak-anak kita sudah sama
dewasa. Bukan begitu bu?” kata ibuku kepada ibuWati, ibunya Daffa. Ibu
melihat gelagat tak setuju, sehingga ibu mengajak Bu Wati berbicara
dengan tujuan memcahkan suasana.
“Kalau saya, mau tanggal
berapapun diadakan pernikahan terserah. Saya tidak akan datang untuk
merestui.” Kata Bu Wati. Semua yang ada terdiam.
Daffa terlihat
menahan marah dan malu. “Saya dan keluarga sebenarnya sudah memiliki
calon untuk Daffa. Pulang S2 bukannya tambah berbakti, malah merasa
pintar dan tak mau mendengarkan kata orang tua.” Tambah ibu Wati dengan
nada kesal.
“Ssstttt... bu, cukup. Bukankah kita sudah membahas ini.” Kata Pak Rahmat merasa tak enak dengan aku dan keluarga.
Aku sudah terdiam seribu bahasa. Perih rasanya. Ingin sekali menitikan air mata, tapi tidak boleh. Aku harus tahan semuanya.
“Ya
sudah. Silahkan diselesaikan dirumah urusan ini. Kami sekeluarga terima
ketidaksetujuan ibu. Dan semoga Nak Daffa bisa lebih berbakti kepada
orang tua.” Jawab ibu mengakhiri perbincangan.
Daffa dan
keluarga menyampaikan maaf dan segera pergi dari rumah. Aku tak menunggu
semua pergi, aku sudah menghilang dibalik pintu kamar. Menangis.
Kejadian ini cukup membuatku sakit selama 3 hari dan ijin tidak masuk
mengajar. Di hari ketiga aku putuskan untuk masuk. Bertemu dengan
anak-anak cukup membuat hati menjadi senang. Murid-murid yang baik.
Hampir semuanya bertanya, “Ustadzah... kemana saja? Kok tidak
masuk-masuk?”
Aku tersenyum dan memeluk mereka.
Meredam kerinduan dan melepaskan luka dihati. Allah... aku bersyukur Kau
titipkan anak-anak sholeh-sholehah.
Tut tut... tut tut... HP berdering tanda SMS masuk.
Nan,
maafkan aku dan keluarga. Aku putuskan untuk kembali ke Jepang dan
melanjutkan S3. Ketidaksetujuan ibu karena memiliki calon lain, aku
tolak baik-baik. Karena aku merasa tidak bisa hidup dengannya. Semoga
kelak kita dijodohkan.
Sms Daffa membuka luka. Aku tak mau menangis didepan murid-muridku yang ku sayang. Aku balas
Semoga keputusanmu untuk melanjutkan S3 benar dan semoga kau segera dipertemukan wanita lain yang menjadi jodohmu.
Dan sejak kejadian itu, aku lebih fokus bekerja dan menjadi ibu pengganti disekolah untuk murid-muridku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar