Kisah nyata ini kami alami beberapa tahun lalu. Aneh tapi nyata.
Entah apa yang menjadi penyebab keluarga ini begitu membenci kami, mungkin karena lamaran salah seorang tetangga yang saya tolak karena memang saya tak menemukan jawaban di dalam istikharoh. Jawaban istikharoh justru memberatkan langkah saya untuk terus maju dan melangkah. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa dipaksakan. Mereka membenci kami karena lamaran itu datang dari anak seorang pemuka organisasi yang sama dengan dia.
Mulailah keluarga ini membenci, kami (saya dan ibu) diberitakan menjadi orang yang sombong, tak pernah bersosialisasi dan lain sebagainya. Saya sendiri mengakui memang kurang bersosialisasi dengan tetangga, karena saya ingin menghindari ghibah. cukup sepekan sekali saya berkumpul dalam taklim yang diselenggarakan di dekat rumah. Itupun pesertanya hanya sedikit. Sedangkan ibu tidak pernah absen dari arisan. Ikut pengajian sebulan sekali tetapi agak jauh dari rumah. Rajin pula iut pengajian haji walau memang lebih banyak diam.
Dari isu-isu yang beredar, tentu saja menyakitkan. Ibu masih saja tenang, seolah masa bodoh dengan berita-berita tersebut. Tetapi, saya tidak. Jelas saja saya sakit hati walau tak bisa membalas dan tak ingin membalas. Dalam doa saya, Allah Maha Adil. Allah-lah yang akan memberikan kami keadilan itu dengan tangan-Nya yang sempurna.
Senin, 31 Agustus 2015
Kamis, 05 Februari 2015
Asmara Semar
Hari
kemenangan telah tiba, bagi sebagian orang beriman ini adalah hari menyedihkan
karena ditinggalkan bulan ramadhan penuh berkah. Namun lihatlah anak-anak yang
riang bermain seolah tidak memiliki beban. Mereka justru riang gembira
menyambut Idul Fitri. Karena itu berarti akan ada banyak makanan. Jangan
dibayangkan makanan kala itu seperti kue-kue yang dijual ditoko-ditoko
sekarang. Mereka merayakan Idul fitri dengan memotong ayam satu ayam untuk satu
RT. Anak-anak dan para lelaki diutamakan. Sedangkan para ibu dan wanita lebih
banyak mempersiapkan hidangan tanpa banyak memakan. Padahal mereka yang makan
banyak pun hanya mendapatkan paling banyak 5-8 suwir ayam. Yah... itulah
kehidupan dimasa 1970an.
Mur yang
tampak sibuk membantu ibunya tetap tampak cantik menawan. Mur memang lebih
rajin dibandingkan saudara-saudaranya. Ia bukan lagi sibuk memasak tetapi sibuk
mempersiapkan dagangan yang akan dijual didepan rumah setiap lebaran tiba.
Maklum di hari ini biasanya anak-anak mendapatkan sedikit ampau dari sanak
famili dan tetangga. Dan uang itu beberapa ditabung di pedagang. Beberapa orang
yang bekerja ke luar kota pulang, terkadang mereka membeli sesuatu untuk di
makan bersama keluarga.
Setelah siap,
Mur dan seorang wanita tak kalah cantik dan bertubuh proposional duduk didepan
rumah menunggu barang dagangan. Mur yang sedari tadi sibuk tak membuatnya
tampak lusuh. Wajahnya yang cantik dan kulitnya yang halus membuat orang-orang
mengira ia suka berdandan. Sebenarnya, Mur tak pernah mempunyai banyak waktu
untuk berdandan. Cantiknya adalah anugrah dari Yang Maha Kuasa.
Sesekali
terlihat orang lewat dengan berjalan kaki. Anak-anak bermain. Orang-orang yang
memanfaatkan momen ini dengan berkunjung ke tempat saudara. Dari sinilah semua
berawal.
Senin, 02 Februari 2015
Surat Untuk Ibu
Wajah cantik yang berpuluh tahun
lalu mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melihat kehidupan baru, kelahiranku. Wajah
yang kini mulai menua dan garis-garis keriput tergambar jelas. Mampukah aku
membahagiakanmu ibu?
Sungguh cintamu sepanjang jalan
dan cintaku sepanjang galah. Berjuta kali aku mencoba membahagiakanmu, tak
pernah cukup membayar semua yang kau berikan padaku, bahkan jika aku memberikan
seluruh hidup.
Sabtu, 10 Januari 2015
Anak Special (Si Pemaaf yang pertama puasa full)
Riuh suara
menggema dikelas satu. Bulan ini adalah bulan pertama mereka berstatus sebagai
siswa SD. Seperti biasanya ada yang menangis meminta pulang, minta ditunggui
orang tuanya, berkelahi lalu dalam beberapa detik kemudian main bersama kembali,
ataupun sekedar berebut mainan. Namun banyak pula yang sudah akrab dengan teman
baru, bermain bersama dan berkenalan dengan guru serta kakak kelasnya. Unik. Setiap
siswa memiliki pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda, baru
kali ini saya mampu membuktikan kebenaran bahwa anak adalah gambaran pola asuh
orang tuanya. Tiga puluh tujuh siswa yang hebat hari ini dengan karakter yang
unik membuatku tertantang untuk mampu menaklukan mereka. Mata penuh sinar
kepolosan tanpa dosa, tubuh mungil yang tiada henti bergerak membuatku terpana
dengan ciptaan Allah. Mana mungkin aku tak sayang dengan mereka?
Kulihat satu
bangku masih setia diduduki oleh pemiliknya, sosok anak yang terlihat mungil
dengan mata bulat. Hati menggerakanku mendekati anak ini, “namanya mas siapa?”
tanyaku lembut.
“Utsman.” Jawabnya.
“Mas Utsman,
main itu sama temennya.” Kataku memintanya mencoba bersosialisasi dengan yang
lain. Dan jawabannya hanya senyum.
“Itu main sama
mas Naufal ya...” tunjukku kepada salah seorang anak yang sudah aku kenal
sebelumnya. Utsman mulai bergerak dari tempat duduknya.
“Mas Naufal,
mas Utsman diajak main ya...” kataku kepada Naufal.
Sabtu, 03 Januari 2015
Istikharoh Ananda part 5
Saya, Awan dan
rombongan segera berangkat. Sungguh beruntung hari ini cerah. Sampai disana
kami masih harus berjalan hingga 30km untuk memasuki daerah ini. Bau anyir
darah para syuhada menusuk hidungku. Kami mendapatkan kabar bahwa salah satu
perkampungan kembali di bom bersama satu barak pengungsian. Bau ini membuatku
sangat mual. Darah berceceran dimana-mana. Tanganku mengeluarkan keringat
dingin. Sungguh pemandangan yang menyeramkan. Rumah dan bangunan luluh lantah.
Terlihat beberapa orang mengevakuasi di tempat kejadian. Ada yang menyelamatkan
dari reruntuhan bangunan, menggendong balita yang kehilangan orang tua dengan
luka penuh darah. Tak pernah ku bayangkan kehidupan seperti ini sebelumnya.
Istikharoh Ananda part 4
Aku mencoba
menuruti apa kata ibu kali ini. Ia memintaku untuk menikah dan mencarikan jodoh
untukku. Sebenarnya aku sudah tidak menginginkan untuk menikah. Tetapi aku pun
tak ingin mengecewakan ibu. Perjodohan berjalan lancar. Tanggal pernikahan
telah ditentukan. Seluruh anggota keluarga merona bahagia dengan pernikahan
ini. Entah kenapa, aku tak bahagia ataupun sedih. Seperti seluruh hidupku
tergadaikan demi kebahagiaan semua orang. Jalan hidup menjadi hambar. Bahkan tak
lagi mampu merasakan sakit. Mungkin rasa sakit yang ditinggalkan Daffa masih
membekas dihati.
Bintang bercahaya,
berkedip genit kepada siapapun yang melihatnya. Tepat jam 9 malam aku bersama
keluarga berkumpul menyiapkan pernikahan. Ting tong... ting tong... bel rumah berbunyi.
Siapa dan untuk apa malam-malam begini mengganggu rumah orang. Pasti ada hal
penting. Kakak pertama membukakan pintu. Nampak seorang perempuan cantik dengan
rambut tergerai ke punggung berwajah sendu.
“Assalamu’alaikum,
maaf benar ini rumah Ananda?” tanyanya. Merasa namaku disebut aku keluar dan mengintipnya
dari balik korden yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.
“Wa’alaikum
salam. Iya benar, anda siapa?” tanya Mas Arya.
“Saya Nova. Ada
yang ingin saya sampaikan dengan Ananda dan keluarga.” Jawabnya.
“Baik,
silahkan masuk.” Jawab Mas Arya.
Kini aku, Mas Ridwan, ibu dan Nova duduk bersama diruang tamu.
Nova mengeluarkan amplop besar berwarna coklat dan memperlihatkan isinya.
Jumat, 02 Januari 2015
Sisi Hati Ridwan
Aku berada
pada saat yang tidak beradaya. Seorang anak datang kepadaku bersama rasa sakit
yang ia deritanya. Fisiknya baik-baik saja, bahkan tampak sangat kuat yang
sakit adalah satu sisi tak nampak dalam hidup yang hingga kini para ilmuan pun
tak tahu dimana letaknya. Ia bernama hati. Luka itu sangat dalam menyayat hati
hingga sikapnya berbeda dengan anak yang lain. Ia berdiri tepat didepan mataku
dengan membawa kain pel untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya melanggar
peraturan sekolah.
Tuhan betapa
aku ingin menolongnya. Perbincangan ini kami mulai dengan bahasan ringan,
tentang siapa namamu, dimana rumahmu, kenapa dihukum, dan pertanyaanku diakhiri
dengan siapa nama orang tuamu. Ringan ia menjawab, “aku tidak punya orang tua”.
Berdesir hatiku mendengar jawabannya. Sorot mata yang bersinar penuh dendam dan luka. Luka yang mungkin tidak pernah aku dan ia
inginkan. Disinilah letak permasalahan yang sebenarnya.
“kok gitu...
masak orang tua kok didoain biar cepet mati, eh nanti jadi anak durhaka lho...”
jawabku dengan nada ringan menutupi hatiku yang gejolak.
“eh nggak ding
bu, ibuku biar tetep sehat dan bahagia. Tapi bapakku biar cepet mati juga gak
apa-apa” jawabnya. Astaghfirullah terdapat jawaban yang menguak sakitnya
dengan lebih dalam.
“kok gitu...
emang bapak kamu kemana?”
“bapak pergi
jauh... gak ada kabar, mungkin udah mati...”
Pembicaraan
terhenti saat aku dipanggil oleh pak BP yang menyuruhku mengantar sesuatu
kekelas XA.
Ini sebuah
pelajaran luar biasa untukku, wahai kaum hawa... jangan mau kau diperbudak
dengan nafsu yang beratas namakan cinta. Hingga suatu saat kau menyesal dan
mengalami luka. Lebih parahnya kau mambawa anakmu dalam lubang penderitaan itu.
pilihlah lelaki yang baik agamanya dan bertanggungjawab.
Saat kembali
ke ruang hukuman itu, Ridwan selesai melaksanakan hukumannya. Ya... Ridwan nama
anak itu. Tidak baik jika ku lanjutkan pembicaraan dengan mengacuhkan jam
pelajaran yang harus Ridwan jalani. Inilah satu hal terkuat mengapa aku mau
bekerja sebagai staff BK disalah satu sekolah pinggiran kota. Aku ingin
menyelamatkan anak-anak seperti Ridwan agar mereka punya masa depan.
Aku meminta
masalah ini segera ditangani oleh kepala BK disana, namun responnya negatif. Ia
tak mau menanganinya dengan alasan, “bisa berbuat apa kita, itu adalah takdir
Tuhan untuknya”. Dan aku kembali bersikap tegas, “maaf pak, alasan saya mau
bekerja disini adalah untuk ini. Ilmu saya tidak akan bermanfaat jika saya
tidak bisa menyelamatkan mereka. Jika memang bapak tidak mau menanganinya biar
saya yang menanganinya.” Dan akhirnya dengan itu, kepala BK disana bersedia
menangani kasus tersebut. Dan aku sebagai pelaksana lapangan.
Aku mulai
dengan satu langkah, pagi ini. Surat panggilan itu datang ke kelas XI IA 1.
Menyuruh Ridawan keluar dan menemuiku. Pertemuan itu berlanjut di kantin
sekolah. Ku korek informasi tentang Ridawan dan keluarganya. Dan aku menemukan
satu titik terang yang akan ku ceritakan nanti saat aku berkunjung ke rumah
Ridwan. Biar kalian dengar sendiri cerita ini dari ibunya Ridwan
Siang ini,
matahari tak begitu menyengat tapi tetap cerah. Aku berjanji kepada Ridwan
untuk main ke rumahnya. Dan disanalah aku akan menemui keluarganya. Disana aku
menemui sesosok wanita yang berusia hampir 40 tahun sedang menjemur padi. Ini
musim panen. Di rumah seribu jendela itu, aku berbicara dengan ibu Rodiyah.
Ibunya Ridwan. Aku mulai dengan sedikit basa-basi dan menyasar ke permasalahan
inti.
“mohon maaf bu
Rodiyah, jika boleh saya bertanya dimana bapaknya Ridwan ya bu?” ku tatap wajah
ibu itu, matanya nanar.
“bapaknya
Ridwan pergi. Dari Ridwan usia 10 tahun. Bapaknya itu tukang mabuk, setiap hari
pulang dengan keadaan mabuk, ia juga tidak mau bekerja. Setiap pulang adanya
Cuma marah-marah. Ndak Cuma itu, ia juga gak segan-segan memukul kalo saya ndak
mau menuruti kemauannya. Hingga pada hari itu, Ridwan yang masih 10 tahun
bermain di ruang ini saat bapaknya pulang dalam kondisi setengah mabuk. Saat
melihat Ridwan yang asik bermain mobil-mobilan dengan suara agak keras, ia
membating Ridwan hingga Ridwan pingsan dan darah membanjiri seluruh kepalanya.
Dan hingga kini luka itu masih membekas. Setelah kejadian itu, bapaknya Ridwan
tidak menampakan dirinya. Dan saya segera mengurus surat perceraian. Saya dan
Ridwan tidak berharap dia kembali lagi. Kami sudah bahagia hidup seperti ini.”
Cerita Bu Rodiyah.
“ lalu Ridwan
sekolah dengan biaya siapa bu?”
“ridwan
disekolahkan oleh pak dhenya. Itu rumah pakdhe nya. Saya sendiri bekerja
seperti ini Cuma cukup buat makan sehari-hari. Jadi pakdhenya Ridwan ini sangat
membantu saya bahkan dalam menggantikan peran sebagai bapaknya.”
“mohon maaf
sebelumnya, bukan maksud saya mencapuri urusan keluarga ibu. Tapi yang saya
lihat, Ridwan itu trauma dengan kejadian itu. mungkin karena itu, ia
berperilaku sedikit nakal dan tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Mungkin
karena ia juga merasa kurang kasih sayang.”
Dan mata nanar
itu kini membasahi pipi denga air, “saya juga bingung bu... mau mengajari
Ridwan, saya sendiri bodoh. Saya Cuma pingin ia bisa pandai dan menjadi orang
sukses. Saya mungkin bukan ibu yang baik buat Ridwan, tapi saya berusaha yang
terbaik untuk dia.” Suaranya sengau karena perih yang sudah tidak tertahan.
Dari balik
pintu, Ridwan sedang menangis merenungi kesalahannya. Ibunya bekerja siang
malam untuk memenuhi kebutuhannya namun ia belum bisa membanggakan ibunya. Ia
keluar dari balik pintu, ia bersimpuh di kaki sang ibu dan meminta maaf. Dengan
suara sengaunya, Ia berjanji akan menjadi anak yang baik, akan rajin belajar
dan menjadi orang sukses seperti keinginan ibunya. Mungkin persepsi semua orang
Ridwan tak lebih dari anak nakal. Tapi inilah kekuatan ibu, tapi ia adalah anak
yang berbakti.
Dan ijinkan
saya membuka rahasia nama Ridwan. Malam itu, seorang bayi lahir dari satu rumah
kecil namun bahagia. Sang ayah yang bertanggung jawab berjuang membawa bidan
malam hari saat hujan lebat untuk menolong persalinan istri tercintnya. Rumah
yang orang bilang bahagia walaupun minim pemahaman agamanya. Saat suara bayi
menggelegar memecah keheningan pertand a lahirnya seorang anak yang dinantikan.
Kedua orang tuanya berharap anak ini menjadi malaikat yang mempersilakan kedua
orang tuanya ke surga. Maka mereka menamakan anak ini dengan nama Ridwan,
malaikat penunggu pintu surga. Dan doa malaikat mengamininya.... walaupun ia
akan hidup didunia yang berat namun kelak ia akan membawa orang tuanya ke
surga. Ridwan akan menjadi anak yang berbakti dan pemaaf walau luka hatinya
begitu dalam. Dalam catatan Tuhan ia kelak akan menjadi seorang kaya yang
dermawan dan berbakti kepada orang tua. Cinta Allah bersamanya didunia...
Ujian akhir
semester telah usai, hari ini raport di berikan kepada wali murid
masing-masing. Hari ini hari istimewa untuk Ridwan, ibu tercintanya
mengusahakan mengambil sendiri raport Ridwan. Dan Ridwan membuktikan janjinya.
Ia mendapatkan 10 besar semester ini. Kini air mata yang keluar dari mata bu
Rodiyah adalah air mata kebahagiaan. Bangga terhadap anak semata wayangnya.
Pujian dari guru dan temannya meluncur tanpa henti. Ridwan yang baik, pintar dan
berbakti.
Dan lihatlah
apa yang diazamkan dalam hatinya. Ia berazam semester depan akan mencetak
prestasi yang lebih baik lagi. Untuk Allah dan untuk ibunya. Dan janji itu
terpatri didalam hati.
Wahai kaum
hawa... ditelapak kakimu dititipkan surgaNya. Rawatlah anakmu menjadi anak yang
sholeh-sholehah karena ia hanyalah titipan Allah untuk kau bimbing. Berilah ia
kasih sayang karena kekuatan sayangmu adalah kekuatan sayang terbesar didunia
ini untuk anakmu. Dan itulah sebagian dari 1 cinta yang Allah turunkan didunia.
Dan Allah masih memiliki 99cinta. Mencintailah dan berkasih sayanglah... karena
anakmu berhak mendapatkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)