Gedung bercat hijau, berdiri gagah
diantara sawah-sawah yang mengelilinginya. Didepan bagian depan ada masjid yang
tampak elegan berdiri walaupun masih tenggelam diantara gedung-gedung lain
disekitarnya. Pagi ini cukup cerah jika dilihat dari arah timur menghadap ke
barat, berjajar dua gunung menjadi latar gedung-gedung itu. Gunung itu adalah
gunung Merapi dan Merbabu yang tampak indah tersinari matahari. Ditambah hiasan
awan yang putih bersih dan langit biru yang menambah takjub yang
memandangnya. Aktivitas dideretan gedung
itu telah dimulai. Tampak motor dan mobil memasuki area parker yang ada disana.
Itulah kampusku IAIN Surakarta.
Papan pengumuman sejak sepagi ini
sudah ramai diserbu Mahasiswa semester 7. Riuh. Ada yang senang, ada yang
sesal, namun ada pula yang terlihat biasa-biasa saja. Mereka bukan melihat
hasil ujian atau nilai apapun. Mereka melihat pengumuman pengelompokan KKN. KKN
kali ini aka diselenggarakan di salah satu kecamatan paling ujung di kabupaten
Sukoharjo. Namanya Bulu. Disanalah aku bersama teman-temanku akan mengabdi
dengan memecahkan sebagian permasalahan di desa masing-masing. Aku ikut
mendekati papan itu untuk mencari namaku. Tak begitu sulit karena namaku masih
berada dijajaran teratas papan itu. Nama Ananda Sofia berada dikelompok 15
bersama dengan kelompok 16 ke desa Malangan yang akan dibimbing dengan Pak
Harun Kurniawan. Tanggal pemberangkatan tinggal 1 minggu lagi. Aku harap semua
berjalan dengan lancar.
Setelah segala pembekalan yang entah
bermanfaat atau tidak karena tempat pembekalan yang terlalu panas, kami
membentuk struktur kelompok. Ketua kelompok kami adalah Toriano Wisnu, entah
dari mana orang tuanya memberi nama aneh itu. Dan aku dipercaya menjadi
sekretaris kelompok. Anggota kelompok kami hanya 12 orang. Setelah itu kami
menemui pembimbing kami untuk memastikan teknik pemberangkatan dan lain
sebagainya.
***
Hari pemberangkatanpun tiba. Pagi
itu hujan mengguyur daerah Surakata dan sekitarnya hingga jam 7 pagi membuat
pemberangkatan agak sedikit molor dari jadwalnya. Bus-bus telah berjajar rapi
didepan kampus hijau itu bersiap mengantar mahasiswa ke desa masing-masing. Jam
8 kami berangkat dan jam 9 lebih 15 menit kami sampai dikota kecamatan dan di
sambut ramah oleh Pak Camat. Setelah diserahkan kepada Pak Camat, kami dijemput
oleh Lurah masing-masing atau perwakilannya untuk kembali di sambut dengan
sedikit prosesi, baru setelah itu kami ke basecamp. Kelompokku bisa dikatakan
berada dikota kelurahan. Sampai di basecamp kami berkumpul untuk sedikit
membicarakan apa yang akan kita lakukan selama kurang lebih 2 bulan ke depan.
Wisnu membuka rapat dan aku mencatat
hasil rapat yang memutuskan, hari ini dan besok kami akan ‘sowan’ ke rumah
pemuka desa setempat, lalu silaturahim ke takmir masjid sekalian meminta ijin
untuk ikut mengajar TPA disana, ke SD Malangan 1 untuk meminta ijin ikut
memberikan les tambahan kepada murid-murid disana sepulang sekolah dan lain
sebagainya. Tentunya jadwal piket dan tugas menjaga basecamp. Aku dipercaya
untuk mensikronkan semuanya, dijadwal dengan rapid dan baik.
***
Jadwal telah tersusun rapi,
masing-masing anggota memiliki kewajibannya sendiri. Hari ini adalah jadwalku
untuk mengajar TPA yang berada kurang lebih 200 meter dari basecamp. Usai
sholah ashar, aku dan Viana berangkat ke masjid itu. Masjid terbesar di dukuh
Malangan dengan cat berwarna putih, tiang penyangga berwarna hijau dan kaca
besar berjajar rapi mengelilingi masjid. Tampak 2 orang ibu-ibu berjilbab besar
duduk menunggu santri TPA disana. Aku dan Viana bersalaman dengan ibu-ibu itu
sambil memperkenalkan diri. Kami disambut cukup ramah. Hari itu kami mengajar
membaca dan menulis Al Qur’an.
Disaat asik menyimak salah seorang
santri disana, ada sedikit kekisruhan. Aku melihat seorang anak laki-laki bertubuh
mungil, bermata hitam bening, dengan bulu lentik diatas mata, berkulit kuning
langsat dan berambut hitam. mungkin berusia 6-7 tahun. Ia terlihat begitu
tampan. Ia bersikap kasar kepada salah satu anak, lalu teman-temannya
menyalahkannya dan mengejeknya. Aku mendekati mereka. Entah mengapa ada rasa
iba melihat anak itu. Karena sebenarnya tidak ada anak yang dilahirkan menajdi
nakal. Lingkunganlah yang membentuknya menajdi seperti itu. Mungkin karena
‘cap’ yang irang-orang berikan, mungkin juga ada masalah dalam psikologi anak
ini. Yang jelas, anak lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah yang menurut dosen
Haditsku bukan hanya berarti suci, tetapi juga disertai potensi. Potensi itupun
ada yang baik dan ada yang buruk. Potensi baik itu berupa hati nurani sedangkan
potensi buruk itu berupa nafsu.
“ada apa ini dek???” tanyaku kepada
mereka.
“itu mbak Dimas nakal.” Kata salah
seorang santri. Mataku menatap Dimas mencoba membaca gelagatnya. Ia tampak diam
menahan sesuatu, entah apa itu. Sosok itu misterius.
“Dimas… kenapa?” tanyaku dengan
tangan mendekap pundaknya.
Diam. Tak bereaksi. Satu detik. Dua
detik. Tiga detik. Ia meronta melempar tanganku dari tubuhnya dan berlari.
Tanpa kata. Ia lari dengan semua keanehan itu.
Reaksi Dimas sedikit mengusik
perasaanku. Ada apa dengan anak ini? Aku mulai bermain dengan pikiranku,
bertanya-tanya.
“Sof, ada apa?” Tanya Viana
menyadarkanku dari lamunanku.
“Oh… gak pa-pa vin, Cuma tadi ada
sedikit masalah.” Jawabku.
“gak usah dipikir bu, Dimas emang
nakal”. Kata salah seorang ustadzah TPA disana.
Aku jawab kata-kata itu dengan
senyum. Tanpa sadar, ternyata acara TPA sore itu selesai. Aku dan Viana
berjalan menyusuri desa kembali ke basecamp. pikiranku kembali memikirkan
Dimas. Ada apa dengan anak itu? Dimana rumahnya? Dia memang diam, tapi aku
melihat hatinya menjerit minta pertolongan.
***
Dalam perjalanan pulang, terdengar
suara marah-marah dari salah satu rumah. Aku dan Viana mencari asal suara.
Suara itu berasal dari rumah tembok bercat kuning. Terlihat seorang wanita
berusia 30 tahunan melempar memarahi anaknya dan berlaku kasar. Karena melihat
kami, ia agak sedikit malu.
“malam ini tidur diluar, jangan
masuk dirumah” teriaknya pada anak itu lalu membanting pintunya keras-keras.
Anak kecil itu menangis tergugu
dalam posisi jongkok. Aku melihatnya dengan seksama. Anak itu Dimas. Iya benar
anak itu Dimas.
“Dimas” kataku mendesah pelan.
“Apa?” kata Viana yang sedikit
mendengar suaruku.
“Itu Dimas” jawabku.
Dalam hatiku aku ingin menolong
Dimas, tapi logikaku berkata aku baru datang disini, jangan mencari masalah.
Anak itu masih terus menangis keras. Air matanya menagir tak tertahan.
Sedangkan aku berdiri mematung disana. Aku tak mendengar suara Viana,
sepertinya ia juga ikut berdiri mematung sepertiku. Menyadari keberadaan kami, Dimas
berlari. Hatiku berkata, ikuti anak itu. Kakiku spontan mengikuti kata hatiku.
Aku berlari mengejar Dimas. Mau kemana dia? Bukannya ini sudah sore? Aku
mengikutinya. Ia berlari kea rah SD 1 Malangan yang berada disamping kelurahan.
Ia memanjat pagar karena gerbang sudah terkunci dan mendekati ayunan. Aku yang
memakai rok agak kesulitan mengikutinya memanjat pagar SD. Tapi akhirnya,
sukses. Aku berhasil memasuki SD 1 Malangan. Aku duduk dan diam diayunan
samping Dimas. Ia masih tergugu.
Aku menatapnya iba. Teringat ada
coklat yang tersmpan disaku rokku yang tadinya ingin ku berikan kepada
adik-adik TPA tetapi urung ku berikan karena keributan itu. Aku tersenyum ke
arah Dimas. Dia muali berhenti menangis.
“Dimas mau coklat?” kataku ramah.
Dimas mulai memandangku. Dengan cepat tangannya mengambil coklat ditanganku
lalu tertunduk mulai sibuk makan coklat. Aku tersenyum. Reaksi yang bagus.
Setidaknya itulah reaksi untuk memberiku kesempatan untuk menjadi temannya. Ku
tunggu sampai coklat yang ditangannya selesai dimakan.
“Dimas pulang yuk…” ajakku. Dia
terdiam. Mungkin berpikir mau pulang kemana. Kan tadi habis diusir ibu.
“sekarang kan udah mau maghrib, apa
Dimas mau disini sampai malam??? Emm… gini aja dech, Dimas ikut kakak pulang ke
basecamp ya… disana ada banyak kakak-kakak yang baik.” Ajakku dengan tersenyum.
Wajah itu mulai menatapku. Ia agak ragu.
“Dimas mau tidur disini? Enakan tidur di basecamp kakak…” kataku meyakinkan.
Tubuh mungil yang lebih tepat jika dikataka kurus itu berdiri. Bersiap
mengikuti ajakanku.
Aku berjalan disamping Dimas.
Terselip keinginan untuk memberikan sedikit kehangatan buatnya. Wajahnya begitu
dingin. Entah kenapa ia memutuskan untuk bersikap seperti ini. Kata orang,
nakal itu bisa berarti meminta perhatian. Tapi nakal bisa juga disebabkan
karena ia ingin memberontak dengan sikap lingkungan terhadap dirinya. Apapun
itu. Tak seharusnya anak nakal itu di’cap’ nakal dan dijauhi. Mereka juga
anak-anak yang butuh perhatian dari orang tua dan orang-orang disekitarnya.
Rasulullah juga mengajarkan dengan detail untuk mendidik anak, Beliau melarang
orang tua atau siapapun berbohong kepada anak, harus berkata lembut, bahkan
Rasulullah adalah seseorang yang sangat sayang terhadap anak-anak. Usia
anak-anak, merupakan usia emas. Mereka sangat cepat menyerap apa yang diberikan
kepadanya.
Kami telah berada didekat basecamp.
samapai di basecamp, aku membuatkan Dimas secangkir teh dan makanan ringan.
Tetapi sebelumnya aku meminta tolong kepada Wisnu untuk menemani Dimas dan
mengajaknya bermain. Viana yang pulang lebih dulu mendekatiku.
“Lagi buat apa sof?” tanyanya dengan
ramah.
“ini buat teh untuk Dimas” jawabku.
“Alhamdulillah Dimas mau diajak
kesini” jawabnya sambil membantuku membuatkan teh.
Wisnu dan Dimas terlihat begitu
akrab. Mereka bermain ular tangga di ruang tengah depan TV. Bahkan sesekali
senyum Dimas terukir dibibir manisnya. Ternyata jika Dimas tersenyum menjadi
lebih manis. Aku dan Viana mendekati mereka sambil membawakan secangkir
teh untuk Dimas.
Adzan maghrib
berkumandang.
“Dimas pulang
ya, nanti kalo dicariin sama ibu gimana?” kataku kepada Dimas.
“Dimas gak mau
pulang. Ibu juga gak akan nyari Dimas. Pokoknya Dimas gak mau pulang.” Jawabnya
dengan tatapan tajam.
“oh... ya udah
kalo gitu.” Jawabku mengalah.
Aku berbicara
kepada Wisnu agar meminta ijin dan memberitahu orang tua Dimas kalau malam ini
Dimas tidur di basecamp kami.
Wisnu dan
teman-teman yang lain berangkat ke masjid bersama dengan Dimas. Agak aneh jika
dilihat satu tubuh kecil mungil diantara 4 orang dewasa. Sesekali Dimas
tertinggal langkah. Ia agak sedikit berlari menyeimbangkan langkahnya dengan 4
orang dewasa itu. Sepulang sholat, Wisnu mampir ke rumah Dimas untuk meminta
ijin agar Dimas bermalam di basecamp. Sedangkan Dimas sendiri sudah pulang bersama
3 kakak KKN yang lain.
Sesampainya di
rumah Dimas, Wisnu disambut oleh seorang wanita berusia sekitar 30an berparas
cantik walaupun tak ramah. Didalam terdengar suara 2 anak perempuan seusia
Dimas. Saat Wisnu menyampaikan tujuannya datang kesana, jawaban ketus tanpa
khawatirlah yang diucapkan wanita itu. Wisnu agak sedikit kaget dengan jawaban,
‘kalau dia mau disana ya biarkan saja, kebetulan. Kalau bisa tidak usah
pulang’.
Dibasecamp
Wisnu menceritakan itu kepada kami, sedangkan Dimas asik bermain dengan Arya,
Bagus dan David. Aku semakin bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi pada
Dimas, kepana ibunya begitu tak peduli dengannya. Ah... kenapa ada ibu seperti
itu. Bukankah Allah memiliki 100 cinta, 99 disimpan dan yang 1 diturunkan ke
bumi. Bahkan dengan 1 cinta, ibu keledai mencintai anak-anaknya? Ini bukan
keledai atau hewan lain, kok bisa-bisanya tak peduli sama anak sendiri.
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki 100 rahmat satu rahmat dari
padanya diturunkan Nya dan dibagi-bagi diantara jin, manusia, hewan-hewan besar
dan kecil. Dengan rahmat yang satu itu, semua makhluk tersebut. Saling sayang
menyayangi dan kasih mengasihi. Dengan rahmat yang satu itulah seekor keledai
liar menyayangi anaknya. Adapun rahmat yang 99 lagi disediakan Allah SWT buat
kehidupan di akhirat. Dengan rahmat yang 99 itulah Allah akan mengasihi
hambaNya pada hari kiamat”. (Riwayat Bukhari dan
Muslim).
Dimas menjadi
semakin sering main di basecamp kami. Ia menjadi anak yang ceria, tidak seperti apa yang dikatakan orang padanya.
Pagi-pagi, kami jalan-jalan bersama. Dimas dengan giat belajar membaca Al
Qur’an. ia terlihat bahagia. Pada suatu hari, ibu Dimas datang ke basecamp kami
untuk menjemput Dimas. Dimas menolaknya namun ia menyeret paksa Dimas. Kami tak
kuasa melarangnya. Dia adalah ibunya Dimas walaupun sebenarnya ia tak pantas
dipanggil ibu untuk Dimas. Wajah Dimas ketakutan meminta tolong. Sejak hari
itu, Dimas tidak pernah menginap di basecamp kami lagi tetapi dia masi sering
main ke basecamp. Bahkan ia menawarkan diri membantu kegiatan kami. Kami
mengadakan serangkaian training untuk
penduduk desa, sepulang dari training, Dimas menawarkan diri untuk
‘ngidak-ngidak’ kakak-kakak KKN yang laki-laki. Wisnu, Arya, Bagus dan David
yang datang dengan lelah, menjadi ceria dan tak tampak kelelahan setelah
menyiapkan dan membereskan acara itu.
Hari demi hari
berlalu merangkai pekan. Pekan demi pekan merangkai bulan. Dan tak terasa kami
berada dipenghujung kegiatan KKN. Besok kami akan pulang. Sedikit berat karena
merasa nyaman dengan keadaan disini. Tetapi mengingat orang tua dan keluarga
dirumah, menjadi tak sabar untuk segera kembali ke rumah.
Pagi ini
cerah, matahari masih mengintip di balik awan. Aku dan Viana ingin pergi
jalan-jalan. Kami menjemput Dimas dirumahnya, ada sosok lelaki berusia 30an
tahun berkulit gelap, sepertinya karena terlalu sering terpanggang matahari. Ia
tersenyum ramah kepada kami. Ternyata itu adalah ayahnya Dimas. Dengan berlari
sambil tersenyum Dimas mendekati kami. kami bertiga siap jalan-jalan pagi. Pemandangan
desa ini sangat indah, terlihat hamparan perbukitan disebelah selatan desa itu,
dibalik bukit itu ada desa Puron yang masih sekecamatan dengan desa Malangan.
Di bagian timur, terhampar sawah hijau yang diakhiri dengan bukit yang katanya
itu sudah masuk kabupaten Wonogiri. Matahari masih malu-malu menampakan
wajahnya, ia bersembunyi dibalik bukit itu. Mempesona orang yang melihatnya.
Dimas sangat senang. Berkali-kali ia eksen dengan gaya-gaya aneh meminta
difoto. Kami tertawa geli melihat tingkah lakunya.
Sepulang dari
jalan-jalan, kami bertemu ayahnya Dimas. Sedangkan Dimas langsung masuk ke
rumah, katanya mau mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melihat kami datang,
ayahnya Dimas menghampiri. Dan mulailah sedikit percakapan
“Terimakasih
ya mbak... sudah lama saya tidak melihat Dimas seceria itu.” Katanya.
“Oh iya pak
sama-sama.” Jawabku.
“Kok kami
jarang melihat bapak ya?” sahut Viana bertanya kepada ayahnya Dimas.
“Saya mengadu
nasib di Jakarta mbak... berjualan bakso dan mie ayam keliling disana.” Jawab
ayahnya Dimas.
“Oh begitu...
kalau begitu kami mohon ijin pamit pak. Assalamu’alaikum” Kata Viana sambil
undur diri.
“Oh iya mbak,
wa’alaikum salam.” Jawab ayahnya Dimas.
Di acara
penarikan kami dari pihak kampus, kami dilepas oleh pak Lurah dan dijemput
untuk ke kecamatan. Di kelurahan, Dimas menangis. Ia merasa akan kehilangan.
Tetapi jauh di dalam pikiranya adalah ketakutan. Takut jika hari-harinya akan
sama dengan hari-hari sebelum kami datang. Ia tak mau berpisah dengan kami.
Bahkan ia bilang, mau ikut sama kakak-kakak saja. Ah... Dimas, air mataku dan
Viana leleh. Haru menyambut perpisahan itu. Tetapi cepat atau lambat kami tetap
harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah. Kami memiliki keluarga yang
menunggu disana. Akhirnya aku kembali ke kosku di daerah Pucangan. Sedikit
melepas lelah, karena terlalu sore sampai kampus, aku putuskan untuk menginap
dikos. Mataku terpejam oleh lelah. Aku bermimpi, Dimas tersenyum di peluk oleh
ayahnya yang menangis tergugu. Dimas berkata dalam mimpi itu, “Ibu jangan benci
aku...” wajahnya tulus.
Dibalik mimpi,
bersama kenyataan yang dialami Dimas. Ia dipukul oleh ibunya karena memecahkan
gelas. Ia menangis keras. Hatinya berkata, hidupku yang dulu telah kembali.
Sore itu saat sang ibu melayangkan pukulan ke tubuh Dimas, Sunarto (ayahnya
Dimas) tiba dari Solo yang sejak pagi pergi. Melihat semua perlakuan kasar
Murni kepada Dimas yang selalu disembunyikan darinya. Murni terdiam kaku. Satu
detik. Dua detik. Tangisanpun pecah. Murni berlutut dikaki Sunarto memohon
ampun. Sunarto yang melihat itu semua mengusir Murni dari rumahnya. Talak
dijatuhkan.
Lalu sunarto
memeluk erat tubuh Dimas. Ia berbisik, “Maaf... Maaf... Maafkan bapak...”
airmatanya tumpah ruah menyesali semua kejadian itu. Tiga tahun lalu saat ibu
kandung Dimas meninggal, ia memutuskan untuk menikah lagi. Mencari seorang
wanita yang mau mengurus Dimas. Dimas masih sangat kecil dan membutuhkan kasih
sayang ibu. Setelah berkenalan dengan Murni di balai desa. Ia jatuh cinta untuk
yang ke dua kalinya. Ia meminang Murni seorang janda beranak 2 yang juga
ditinggal mati suaminya setahun silam. Ia berharap Murni bisa menyayangi Dimas
seperti anaknya sendiri. Ternyata tanpa sadar, Sunarto telah memasukan anaknya
ke neraka dunia. Hampir tiap hari ia diperlakukan kasar oleh Murni, bahkan
kadang tak dikasih makan. Terjadilah hari-hari kelabu bagi Dimas. Belum lepas
Sunarto memeluk Dimas, Dimas pingsan dalam pelukannya. Lemas tak berdaya.
Panik. Sunarto meminta bantuan. Diluar cuaca sedang hujan. Berharap denyut nadi
Dimas masih berbunyi. Ternyata Murni memukul tubuh mungil itu dengan keras dan
kepalanya mengenai pojok meja.
Cerita ini hanya fiksi saja, jika
ada kesamaan tempat dan nama merupakan kesengajaan, bagi nama yang termuat,
mohon diikhlaskan saja namanya. ^_^
Gemolong, 24 oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar