Hari demi hari
berlalu setelah ku putuskan untuk belum menerima kehadiran Daffa. Ternyata
bukan hal mudah, tetapi hati ini jauh lebih tenang. Aku dan Daffa membuat
kesepakatan bahwa kami tidak akan berkomunikasi dengan intens lagi. Tidak akan
komen atau like status facebook satu sama lain. Aku hanya ingin menjaga hatinya
dan hatiku untuk selalu berada di jalanNya. Bahwa hidup tak melulu untuk cinta
yang ‘itu’. Walau aku telah memilih untuk hidup berada dalam satu cinta, cinta
kepada Rabbul Izzati. Dilantai dua gedung baru sekolah yang sebenarnya belum
jadi sempurna, aku bersama dengan ‘si putih’ menulis catatan perjalanan hidup.
Terlihat jelas hamparan sawah dan dua gunung merapi dan merbabu pagi ini begitu
indah. Hari ini cukup lenggang karena hanya mengajar 2 jam pelajaran.
Dibelakang, anak-anak bersama dengan ustadzahnya bermain sambil belajar.
Terlihat tawa mereka yang begitu riang. Betapa bahagianya mereka. Aku sendiri
larut dalam ingatan 3 tahun yang lalu. Saat itu mungkin adalah kali pertama dan
terakhir aku menitikan air mata di Organisasi Dakwah Intern Kampus(ODIK).
“jadi
kepengurusan ODIK benar-benar sudah terbentuk?” tanyaku kepada Mbak Azira. Air
mata mengalir begitu saja. Tak tahu apa yang aku rasa. Di satu lubuk hati ini
seperti diambil paksa dan disayat. Perih.
“Iya dek, kita
sudah dilantik.” Jawabnya penuh semangat karena belum melihat ekspresi wajahku.
“kamu nangis
dek?” tanya mbak Azira. Tubuh itu memelukku dengan hangat. Walau tak mampu
menghilangkan rasa ‘terbuang’. Yah... mungkin tepat jika aku merasa terbuang.
Aku lepaskan pelukan itu, aku terlanjur tersakiti dengan keadaan atau mungkin
keputusan beberapa orang.
“tadinya aku
masih sangat berharap menjadi bagian dari kalian. Aku merasa nyaman disini,
berjuang bersama kalian. Bahkan tak sedikitpun aku membayangkan hanya harus
aktif di Lembaga Dakwah Esksternal Kampus (LDEK). Karakterku tak cocok dengan
mereka. Bahkan belum hilang dari ingatan kita bahwa aku di fitnah oleh orang
yang sekarang memimpin lembaga itu. Haruskah aku disana mbak? Mengorbankan
semua visi misi dan target yang aku dan teman-teman HUMAS ODIK tulisan dibuku
catatan perjalanan kami.” Kataku tersedu pilu.
“bukankah kamu
menyetujuinya?” tanya mbak Azira.
“Iya, tapi
ternyata persetujuan itu tak lebih mudah dari perjalanannya. Aku menyetujuinya
karena para tetua kedua organisasi mengatakan LDEK tak memiliki banyak orang.
Tapi ternyata disana sudah terlalu banyak orang. Kenapa harus berbohong? Apa
aku masih dianggap anak kecil yang tak bisa menentukan pilihan?” kataku.
“sabar dek...
dimanapun yang terpenting kita masih berkontribusi dalam dakwah islam,
bekerjalah maksimal, dan tuliskan ulang visi misimu di lembaga itu.” Katanya
dengan mata nanar
“aku hanya
bisa berusaha memberikan semaksimal mungkin. Tapi aku tak tau apakah aku akan
bertahan disana lebih lama atau tidak.” Jawabku pasrah dan air mata itu terus
mengalir.
Benar saja,
ketidakcocokan karakter yang membuat saya dan teman-teman sering missed
komunikasi. Sedangkan semua teman-temanku di ODIK sibuk dengan agenda mereka
masing-masing. Guru ngaji yang aku harapkan petuahnya disaat seperti ini sedang
sibuk membina rumah tangga yang baru saja di ikrarkan. Sendiri. Dan aku hanya
diam termenung, mungkin aku yang harus berubah.
Perubahan demi
perubahan aku jalani. Perkataan beberapa orang tetap tidak berubah. Memandangku
buruk. Parahnya yang memandang seperti itu adalah orang-orang yang memegang
jabatan diatasku. Hal terberat adalah ketika aku sedang berbincang dengan teman
yang kebetulan sesama aktivis LDEK dan juga sesama teman BEM. Kami berbincang
tidak hanya berdua setelah jam kuliah selesai mengenai acara BEM selanjutnya.
Pemimpin LDEK melihatnya, tanpa tabayun dan konfirmasi ia menyebarkan berita
bahwa aku menjalin hubungan khusus dengan Rasyid. Walaupun merasa biasa dengan
berita-berita buruk tentangku, berita buruk kali ini membuat aku tidak terima.
Rasyid yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari Lembaga, dan aku masih diam. Ternyata
kabar itu tidak berhenti bahkan semakin menjadi-jadi. Rasyid yang kos bersama
dengan teman-teman se-LDEK akhirnya memutuskan untuk keluar dari kos.
Dan aku? Aku
habiskan malam-malam dengan lebih banyak Qiyamul lail dan istikharoh. Saat-saat
sulit untuk menentukan apakah tetap bertahan atau keluar dari jalan ini.
Mungkin hal ini masalah mudah bagi sebagian orang. Tapi bukan untukku. Ini
masalah keyakinan dan cinta. Cintaku kepada Rabb-ku. Ku panjatkan segala puji
bagi Illahi Robbi. Dzikir. Tilawatil Qur’an. Kedua tangan menengadah ke langit,
meminta kepada Rabb pemilik diri ini.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan
yang tepat kepadaMu dengan ilmuMu, aku memohon kepadaMu untuk menyelesaikan
masalahku dengan kekuasaanMu, dan aku memohon karuniaMu dengan KeagunganMu,
karena hanya Engkaulah yang berkuasa sendangkan aku tak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui
sedangkan aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib. Ya
Allah, jika Engkau mengetahui bahwa keluar dari LDEK baik bagiku, agamaku dan
kehidupanku sert baik pula akibatnya didunia dan akhirat, maka takdirkanlah dan
mudahkanlah urusan ini bagiku. Kemudian berkahilah aku dalam urusan ini. Dan
sekiranya Engkau tahu bahwa keluar dari LDEK buruk bagiku, agamaku dan
kehidupanku serta buruk pula akibatnya didunia dan akhirat, maka jauhkanlah
urusan ini dari ku. Dan auhkanlah aku dari urusan ini dan takirkanlah kebaikan
untukku dimanapun, dan Ridhokanlah hatiku dengan keputusanMu. Aaamiiin..
Aku hembukan
napas kuat. Tarik napas lagi dan dihembuskan dengan kuat. Tut tut.. tut tut...
dering sms masuk. Sms tausiyah dari Daffa.
Bagitu banyak
warna dalam perjalanan kita,
ada yang
tetap bertahan, namun tak sedikit yang pergi meninggalkannya.
Begitulah
jalan dakwah mengajarkan kita tentang ukhuwah,
tentang
pengorbanan dan keikhlasan.
Kadang kesal,
kadang lelah, kadang canda, kadang tawa.
Tak kuat
rasanya untuk berthan, namun sayang untuk ditinggalkan.
Kadang hati
bertanya, “Ya Allah... kapan kami bisa beristirahat dari jalan ini?”
jawabnya,
nanti ketika tiba waktu dimana kaki-kaki kita menginjak surga.
(ust. Rahmat Abdullah)
Ya Allah...
jawabankah ini? Air mata ini kembali mengalir. Sel-sel otak menyatu dan
berharap menemukan secerca cahaya keikhlasan jika ini adalah jawabannya. Sakit
rasanya jika harus terus bertahan. Namun benar, sayang untuk ditinggalkan.
Pagi hari saat
menuju kekelas, Akh Utsman (mantan ketua LDEK) tabayun kepadaku meminta
kejelasan atas berita yang beredar. Walau terasa terlambat karena Rasyid
akhirnya keluar tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dari
hasil tabayun, Akh Utsman siap memfasilitasi pertemuan antara aku dan Ridho
(ketua LDEK) bersama dengan beberapa teman yang dipercaya untuk menjadi saksi.
Diantara putra dan putri ada hijab lebar sehingga kami tak saling melihat.
Ridho menjelaskan alasannya membuat stetment bahwa aku berpacaran dengan Rasyid
dan aku diberi hak jawab atas perasangkanya. Dalam penyelesaian masalah, aku
meminta untuk namaku diperbaiki. Akupun memutuskan untuk non aktif sampai
periode ini berakhir. Karena aku merasa tidak bisa lagi bekerja dengan pemimpin
yang pernah memfitnahku. Ridhopun meminta maaf.
Duniaku
kembali. Belajar memaafkan walau sulit. Belajar ikhlas walau tak semudah teori.
Belajar sabar hingga tak peduli. Berharap Dia memperbaiki akhaknya.
Periode
perjalanan kepemimpinan Ridho selesai. Aku kembali diaktifkan dalam lembaga.
Dan Rasyid tetap bersikeras tak mau lagi kembali. Perasangka itu sangat
dahsyat. Perasangka tanpa dasar yang diberitakan kepada orang-orang, telah
membuat salah seorang teman pergi meninggalkan jalan ini. Rasyid pernah
bertanya kepadaku usai kuliah, karena kami sekelas.
“Nan, kenapa
kamu masih bertahan di LDEK?”
“aku meyakini
ini adalah jalan Allah. Keburukan itu hanya karena manusianya. Kalau dakwahnya
tergantung bagaimana kita mengisinya. Jika bukan karena Allah mungkin saya sudah
keluar dari sana.” Jawab saya lantang.
“Bagaimana
bisa kamu semantap itu? Bukankah berdakwah juga pilihan. Dimanapun dan kapanpun
kita bisa berdakwah dimana saja, tak harus disana?” tanyanya dengan nada heran
dengan keputusanku.
“ingat kata
ust Rahmat Abdullah? Bagitu banyak warna dalam perjalanan kita, ada yang tetap
bertahan, namun tak sedikit yang pergi meninggalkannya. Begitulah jalan dakwah
mengajarkan kita tentang ukhuwah, tentang pengorbanan dan keikhlasan. Kadang
keasl, kadang lelah, kadang canda, kadang tawa. Tak kuat rasanya untuk berthan,
namun sayang untuk ditinggalkan. Kadang hati bertanya, “Ya Allah... kapan kami
bisa beristirahat dari jalan ini?” jawabnya, nanti ketika tiba waktu dimana
kaki-kaki kita menginjak surga.” Jawabku dengan senyum. “fitnah yang sudah
berlalu biarkan saja, itu perbuatan manusia dan Allah tidak tidur. Aku disini
karena Allah, kalaupun harus keluar atau pergi, tentu saja itu juga karena
Allah” jawabku mantap.
Ridho
tersenyum, pamit pergi. Dan bayang tubuhnya menghilang dibalik tembok. Dalam
hati aku berdoa, ‘Ya Allah teguhkanlah dia dan aku Jalan-Mu’. Sejujurnya hingga
kini, aku tak tau pilihan yang ku buat adalah pilihan yang tepat ataukah piihan
yang bodoh. Atau pilihan bodoh yang tepat. Entahlah.
Anak kecil
dengan ceria memelukku dengan tubuh kecilnya sambil berteriak, “Ustadzaaaahhhh”.
Teriakan yang membuyarkan ingatan masa laluku.
“O...
Yazakka... ustadzah kira siapa tadi. Tiba-tiba buat ustazdah kaget.” Jawabku
dengan senyuman dan dibalas juga dengan senyuman. Ternyata ini sudah jam
istirahat.
“ayo...
sekarang kan waktunya sholat dluha... kalau tidak segera wudlu nanti sholatnya
terlambat.” Kataku kepada anak-anak.
Melihat
wajah-wajah mungil tanpa dosa ini, membuat hati tenang. Seolah masalah hilang
ditelan bumi, yang ada hanyalah keceriaan.
Gemolong, 30 Juli 2014 22:07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar