Minggu, 24 Februari 2019

NOER BUKAN NUR



Tahun ke lima aku mengabdi sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa. Tepatnya satu setengah tahun aku membersamai sekolah ini. Sekolah ini tempat ke dua aku mengabdi. Sebuah SMP favorit di kabupaten tempat saya beranjak dewasa. Awalnya ditempat ini aku memulai dengan sebuah niat hanya sekedar memberikan ilmu. Aku tidak lagi berminat mencampuri urusan pribadi murid-muridku, terutama urusan keluarga mereka. Dua tahun 10 bulan pertama mengajar dengan banyak mencampuri urusan orang membuatku kelelahan terlebih segala usahaku tak dianggap. Memulai langkah baru, cara baru, dan pribadi baru. Awalnya semua berjalan seperti rencana. Mereka murid-murid yang aku sayangi, dan aku adalah guru favorit mereka. Hanya sebatas guru dan murid.
Dinding cat krem perpustakaan tempat aku berdomisili di sekolah ini menjadi sebuah saksi. Seorang murid yang duduk didepanku terdiam terpaku menunggu alasanku memanggil anak ini kesini. Sebelumnya Baim datang dan bercerita bahwa Noer muram setelah dari BK.
“kenapa kamu tadi berada di BK?” tanyaku.
“Dipanggil Bu Ntik, bu.” Jawabnya sambil menunduk.
Lalu ku pandang wajahnya lekat-lekat. Wajahnya menandakan sama sekali tak memiliki gairah hidup.
“Masih sama dengan kasus kemarin? Atau ini lanjutan?” kataku. Wajahnya mendongak menatapku sekilas lalu menunduk lagi. Aku tersenyum, pancingan pertama berhasil.