Sabtu, 03 Januari 2015

Istikharoh Ananda part 5




Saya, Awan dan rombongan segera berangkat. Sungguh beruntung hari ini cerah. Sampai disana kami masih harus berjalan hingga 30km untuk memasuki daerah ini. Bau anyir darah para syuhada menusuk hidungku. Kami mendapatkan kabar bahwa salah satu perkampungan kembali di bom bersama satu barak pengungsian. Bau ini membuatku sangat mual. Darah berceceran dimana-mana. Tanganku mengeluarkan keringat dingin. Sungguh pemandangan yang menyeramkan. Rumah dan bangunan luluh lantah. Terlihat beberapa orang mengevakuasi di tempat kejadian. Ada yang menyelamatkan dari reruntuhan bangunan, menggendong balita yang kehilangan orang tua dengan luka penuh darah. Tak pernah ku bayangkan kehidupan seperti ini sebelumnya.

Jauh berbeda dengan pemandangan di kota Depok yang aman dan damai. Gedung bertingkat berdiri gagah. Mobil lalu lalang dengan tenang. Disini, jangankan mobil, obat-obatan pun terbatas. Satu-satunya rumah sakit disini telah dihancurkan. Sungguh tak ada tempat yang aman. Ku kumpulkan keberanian. Kembali mengambil kamera foto beberapa tempat yang menggambarkan kondisi yang terjadi dan membuat pembaca iba. Setelah kekuatan terkumpul aku dengan lincah mencari informasi tentang perang yang terjadi. Seorang bapak yang terlihat fisiknya sehat berhasil kami wawancarai. Dokter Aida dan kawan-kawan mulai melakukan pertolongan. Akhirnya kami bertemu beberapa wartawan dari negara lain yang juga ditugaskan meliput disini. Memang kebanyakan mereka adalah laki-laki. Adapun perempuan, mereka disini dengan pendampingnya.
Dari pusat informasi, ada daerah baru yang di bom oleh musuh. Aku, Awan dan beberapa teman wartawan lainnya segera kesana, selain mencari informasi, kami juga membantu evakuasi. Bau anyir darah membuatku sangat mual.
“Ini, minumlah.” Kata Awan kepadaku sambil menyodorkan sebotol air.
“Terimakasih.” Jawabku.
Mengetahui keberadaan kami, tempat itu di bom untuk kedua kalinya. Disetiap bom keluar peluru kecil yang bisa menghambur kesegala arah. Aku tidak sempat berlindung. Sebuah peluru masuk kedalam tubuhku. Nyeri sekali. Cairan merah keluar dari tubuhku. Awan yang tak terluka ingin menolongku. Aku mengalihkan tangannya menolak. Disaat ini, tidak ada yang bisa menolongku selain Awan. Selain sesama Tim dari majalah Al Adzkia, orang lain sedang sibuk saling membantu temannya yang terluka. Aku masih sadar dan berusaha menyelamatkan diri. Bibirku mulai memutih. 10 meter aku berjalan dari tempat terkena peuru tubuhku terasa melayang. Pandangan gelap. Tak sadar.
Wartawan dengan kameranya lebih menakutkan dari pada serangan bom. Karena dengan tulisannya ia mampu mengisi opini publik. Itulah alasan kami diserang. Hak perlindungan yang diberikan kepada wartawan tak berlaku disini. Ini peperangan yang sebenarnya.
Perlahan aku membuka mata. Aku melihat disekitarku ada infus berwarna merah disebuah ruangan yang warna temboknya tak beraturan. Ini adalah rumah sakit darurat. Awan yang melihatku sadar, memanggil dokter Aida.
“Kamu sudah sadar sayang?” kata dokter Aida lembut. Sambil memeriksa kondisiku.
“Sekarang kau tau betapa menakutkannya tempat ini jika dijalani sendiri. Honey... kami mohon sementara hilangkanlah keras kepalamu.” Kata dokter Aida.
“Dok, siapa yang membawaku kesini?” tanyaku terbata.
“Awan yang membawamu kesini. Kau kehilangan banyak darah sampai pingsan. Jika saja Awan terlambat membawamu kesini, mungkin nyawamu tak tertolong. Kau tau, golongan darahmu tak ada disini. Kami harus bergerak cepat untuk mendapatkan golongan darah yang sama denganmu. Kembali Awan menyelamatkanmu, ia mendonorkan darahnya untukmu.” Kata dokter Aida sambil membelaiku lembut.
Punggungku terasa nyeri sekali. Operasi dilakukan tanpa bius. Saat sadar, aku harus menahan nyeri yang luar biasa dipunggung. Tepat di tempat terkena peluru. Air mata keluar tak tertahan. Bahkan aku tak lagi mampu berpikir tentang apa yang dikatakan dokter Aida. Aku menggigit bibir menahan rasa sakit. Aku hanya mampu melihat Awan dan dokter Aida yang mulai berhenti berbicara karena melihatku kesakitan. Tanganku meremas apapun yang kudapatkan. Sakit dan nyeri luar biasa.
“Nan, aku tau kau wanita tangguh. Kau pasti bisa menahan rasa sakitnya.” Kata Awan menyemangati. Entah dari mana, aku merasa memiliki kekuatan. Aku mulai mampu mengendalikan rasa sakit.
“Bagaimana sayang?” Tanya dokter Aida. “Aku tak bisa menjagamu 24jam. Tetapi partnermu mampu melakukan itu. Selama ini, dialah yang menjagamu. Aku harus mengurus korban lain. Dan kamu tidak bisa keluar dari tempat ini dalam waktu dekat karena daerah perbatasan telah diambil alih oleh musuh. Bagi orang sehat saja cukup berbahaya untuk keluar dari sini. Jadi aku mohon, untuk kali ini saja. Lupakan keras kepalamu.” Kata dokter Aida memaksaku untuk berpikir.
“Bagaimana dengan waliku?” kataku sambil menangis. Pasrah tak berdaya dengan kondisi yang ada. Kembali harus aku lakukan sesuatu yang tidak aku sukai.
“Kau tak sadarkan diri selama 2 hari. Awan dan Suamiku keluar dari sini dengan sembunyi-sembunyi. Mereka telah menghubungi keluargamu. Keluargamu menyerahkan hak perwalianmu kepada suamiku.” Kata Dokter Aida.
Aku meminta air sedikit untuk wudlu yang di bantu dokter Aida dan istikharoh. Air mataku meluncur berkali-kali. Sakit di punggungku tak sebanding dengan luka dihatiku. Setidaknya dengan pikiran tenang, logikaku mulai berjalan dan mencerna dengan baik perkataan dokter Aida dan kenyataan di tempat.
“Baik dok. Tetapi sebelumnya aku meminta kepada Pak Awan setelah keluar dari sini berikan aku kebebasan kembali.” Jawabku mantap kepada dokter Aida dan Awan. Aku lihat wajah lelaki yang terkenal cool itu terluka. Sorot matanya meredup. Maaf atas perkataanku, tetapi aku tak membayangkan akan menikah dan hidup dengan seorang lelaki.
“Kita lihat saja nanti nan. Tak ada yang mengetahui masa depan yang terpenting sekarang kau mau menikah.” Jawab dokter Aida.
“Tidak dok, aku mau Awan berjanji.” Kataku tegas.
“Bagaimana wan?” tanya dokter Aida kepada Awan.
“Kita lihat nanti, jika keluar dari sini itu yang kau inginkan. Aku tak akan melarang. Kau paham hukum islam.” Jawab Awan lembut.
Pernikahan tanpa persiapan akan diselenggarakan. Tidak ada tenda, tidak ada tamu, tidak ada makanan seperti halnya pesta pernikahan. Ini hanya sekedar ijab qobul lalu selesai. Akupun tidak berhias, tak terbayangkan sebelumnya bahwa aku harus menjalani pernikahan aneh ini.
“Saya terima nikahnya Ananda Rochmah binti Sulaiman dengan mas kawin surat Al Mulk dibayar tunai.” Awan mantap mengucap. Serentak yang berada disana mengeucap, “SAH”.
Ada yang aneh dihatiku. Entah apa. Aku sendiri tak mampu mendefinisikan perasaan apa ini. Marah, haru, bahagia atau tertekan? Atau mungkin semuanya berkecamuk menjadi satu. Sepertinya hatiku perang satu sama lain.
Dokter Aida mendatangiku memberikan selamat dan mengganti perban. Sebelum perban diganti, ia memanggil Awan. Ia ingin mengajari menggantikan perban. Aku belum terbiasa dengan kehadiran Awan memintanya untuk tidak melihat sehingga menimbulkan perdebatan anatara aku dan dokter Aida. Jika biasanya aku keras kepala tidak terkalahkan. Sekarang aku pasrah, karena benar yang dikatakannya. Awan sudah menjadi suamiku. Dokter Aida memintaku membuka baju bagian punggung. Ia mengajari Awan dan memintanya mempraktekan. Ia melihat Awan begitu luwes dan menitipkan tugas ini padanya. Setiap sentuhan ada hal yang membuat hatiku bergetar. Tetapi disisi lain hatiku memberontak, aku  tidak boleh begini. Aku tak ingin tersakiti untuk kesekian kalinya.
Setelah selesai, Awan menatapku hangat. Ia meminta kami untuk melakukan sholat sunnah 2 rekaat. Usai sholat ia mendoakan ku dan mengecup keningku. Air mataku meleleh. Tak mengerti apa yang harusnya aku rasakan.
“Ananda Rochmah binti Sulaiman, semoga kau selalu dalam lindungan Allah dan diberkahi setiap langkahmu.” Kata Awan padaku. Ia meletakan tangannya dipipiku dan mengusap air mata. Tanganku tak kuasa menghalanginya. “Bukankah hari ini terasa begitu melelahkan bagimu? Tidurlah.” Kata Awan lembut menatapku.
Benar, hari ini sangat melelahkan. Terutama hatiku. Kuputuskan merebahkan diri. Tidur menghadap kesamping. Kurasakan Awan menatap dalam menjagaku tanpa putus.
Hari demi hari lukaku mulai membaik. Aku bisa menjalankan tugas sebagai jurnalis. Tentunya tidak hanya aku, tetapi kami. Beberapa tulisan terkumpul. Aku telah sehat dan kami berencana untuk pulang sesegera mungkin.
Malam ini lebih dingin dari biasanya hingga menembus selimut dan menusuk tulang. Wajahku mulai pucat karena kedinginan. Awan melihatku. Mencarikan selimut tambahan. Tetapi nihil. Bahkan selimut yang tersedia kurang untuk pengungsi. Ia memelukku dari belakang.
“Lepaskan...” kataku pada Awan, mencoba memberontak namun gagal.
“Tenanglah, tidak ada selimut. Besok kita keluar, kau tidak boleh sakit atau kita akan memunda kepulangan.” Kata Awan lembut. Aku pikir apa yang dikatakannya benar.
“Nan... apa boleh aku meminta kepadamu.” Kata Awan membisik ditelingaku. Tanpa sadar, akupun mulai menikmati situasi ini.
“Iya, apa?” jawabku pelan.
“Bolehkah aku meminta kepercayaanmu?” katanya
“untuk apa?” tanyaku.
“Untuk menjadi pendamping hidupmu, menjagamu dan menyempurnakan agamamu. Aku bukan Daffa ataupun Bima. Aku Awan. Aku berjanji tidak akan melukaimu.” Katanya lembut penuh kesungguhan. Aku mendengarkan dengan penuh tanda tanya.
“Dari mana kamu tau semua itu?” tanyaku.
“Saat aku keluar untuk menghubungi keluargamu, aku telpon kantor dan menanyakan no keluargamu. Aku ingat bahwa Salsa adalah teman baikmu. Aku bertanya padanya alasanmu tidak mau menikah. Ia menceritakan semuanya. Sekarang dan di masa depanku, aku mau kau selalu menjadi pendampingku. Saling menjaga iman dan berjalan bersama menuju ke surga-Nya.” Kata Awan. Air mataku tak terbendung. Kata-kata yang keluar dari hati meluluh lantakan logika. Aku mulai melepaskan semua yang menyesakan dada. Mengakui bahwa selama ini akupun menyimpan rasa yang sama. Menyerah dengan indah atas pemberontakan yang selama ini ku bangun. Aku tak mampu menjawab, hanya air mata keluar tanpa henti. Pelukannya semakin kuat. Aku merasakan semesta bertasbih.
Aku membalikan badan. Mata kami saling bertatap. Pertama kalinya aku melihat dengan seksama wajah orang yang menjadi suamiku. “Iya” kataku. Malam begitu tenang dalam peluknya. Tak ingin segera berakhir. Tetap saja sang Surya harus segera muncul.

Pagi bersinar. Kami harus segera keluar dari daerah ini dan kembali ke Jakarta. Perjalanan pulang terbilang lancar walaupun kami harus merayap melewati perbatasan. Menghindari penjaga. Awan memegang tanganku erat. Aku merasa aman berada didekatnya

Pesawat yang membawa kami pulang akhirnya tiba di Jakarta. Pak Rahmat dan Salsa yang langsung menjemput kami. Awan menggenggam tanganku kuat. Wajah Salsa berbinar, peluk hangatnya melukiskan rindu dan kekhawatiran yang amat sangat. Begitu juga Pak Rahmat dan Awan mereka saling berpeluk erat seperti seorang ayah yang bertemu anaknya.
“cieeee.... akhirnya kamu menikah juga.” Bisik Salsa ditelingaku.
“apa sih?” jawabku tersipu malu.
“Doa orang sekantor berarti kabul ya...” canda Salsa.
“Salsa.... udah dong. Suka banget godain orang.” Kataku.
Sementara aku pulang ke kos dan Awan pulang ke kosnya. Setelah kami mengerjakan tugas liputan, saya dan Awan mengambil cuti sepekan. Langkah pertama, kami mencari rumah kontrakan yang tidak terlalu besar tetapi layak untuk ditempati berdua.
Awan memperkenalkanku kepada keluarga besarnya di Yogyakarta. Setelah itu kami berangkat ke rumahku. Berkenalan dengan keluarga besarku. Kami sepakat tidak ingin ada pesta pernikahan besar-besaran. Cukup syukuran.
Ibuku akhirnya mengeluarkan air mata bahagia. Aku mempersiapkan syukuran bersama kakak-kakakku. Dan ibu ngobrol dengan Awan. Entah apa yang dibicarakan. Mereka terlihat begitu serius.
Usai semua acara, aku membuka leptopku mengecek email siapa tau ada tugas dari kantor. Aku dan Awan melihat satu email masuk. Dari Daffa. Aku tak ingin membukanya. Awan menasehatiku untuk tidak memutuskan pertemanan dan mengabarinya tentang pernikahan kami. Agar ia tidak lagi berharap dan segera move on.
Nasehat itu aku laksanakan. Dia membantuku menata kata-kata, agar meyakinkan aku sisipkan gambar kami berdua. Maaf Daffa, semoga kamu mendapatkan yang terbaik. Karena aku telah mendapatkan orang terbaik disisiku. Menjagaku dengan keimanan dan kesabaran. Meluluhkan benteng yang aku buat dengan kesungguhan dan ketulusan. Aku bersyukur tanpa henti. Allah telah mengirimkan seorang yang lebih dari malaikat. Semoga cinta kami abadi seperti cinta Khadijah dengan Muhammad dan Fatimah dengan Ali, mewangi ditaman surga yang hakiki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar