Senin, 31 Agustus 2015

Sembuh Dengan Usapan Tangan

Kisah nyata ini kami alami beberapa tahun lalu. Aneh tapi nyata.
Entah apa yang menjadi penyebab keluarga ini begitu membenci kami, mungkin karena lamaran salah seorang tetangga yang saya tolak karena memang saya tak menemukan jawaban di dalam istikharoh. Jawaban istikharoh justru memberatkan langkah saya untuk terus maju dan melangkah. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa dipaksakan. Mereka membenci kami karena lamaran itu datang dari anak seorang pemuka organisasi yang sama dengan dia.
Mulailah keluarga ini membenci, kami (saya dan ibu) diberitakan menjadi orang yang sombong, tak pernah bersosialisasi dan lain sebagainya. Saya sendiri mengakui memang kurang bersosialisasi dengan tetangga, karena saya ingin menghindari ghibah. cukup sepekan sekali saya berkumpul dalam taklim yang diselenggarakan di dekat rumah. Itupun pesertanya hanya sedikit. Sedangkan ibu tidak pernah absen dari arisan. Ikut pengajian sebulan sekali tetapi agak jauh dari rumah. Rajin pula iut pengajian haji walau memang lebih banyak diam.
Dari isu-isu yang beredar, tentu saja menyakitkan. Ibu masih saja tenang, seolah masa bodoh dengan berita-berita tersebut. Tetapi, saya tidak. Jelas saja saya sakit hati walau tak bisa membalas dan tak ingin membalas. Dalam doa saya, Allah Maha Adil. Allah-lah yang akan memberikan kami keadilan itu dengan tangan-Nya yang sempurna.

Kamis, 05 Februari 2015

Asmara Semar



Hari kemenangan telah tiba, bagi sebagian orang beriman ini adalah hari menyedihkan karena ditinggalkan bulan ramadhan penuh berkah. Namun lihatlah anak-anak yang riang bermain seolah tidak memiliki beban. Mereka justru riang gembira menyambut Idul Fitri. Karena itu berarti akan ada banyak makanan. Jangan dibayangkan makanan kala itu seperti kue-kue yang dijual ditoko-ditoko sekarang. Mereka merayakan Idul fitri dengan memotong ayam satu ayam untuk satu RT. Anak-anak dan para lelaki diutamakan. Sedangkan para ibu dan wanita lebih banyak mempersiapkan hidangan tanpa banyak memakan. Padahal mereka yang makan banyak pun hanya mendapatkan paling banyak 5-8 suwir ayam. Yah... itulah kehidupan dimasa 1970an.
Mur yang tampak sibuk membantu ibunya tetap tampak cantik menawan. Mur memang lebih rajin dibandingkan saudara-saudaranya. Ia bukan lagi sibuk memasak tetapi sibuk mempersiapkan dagangan yang akan dijual didepan rumah setiap lebaran tiba. Maklum di hari ini biasanya anak-anak mendapatkan sedikit ampau dari sanak famili dan tetangga. Dan uang itu beberapa ditabung di pedagang. Beberapa orang yang bekerja ke luar kota pulang, terkadang mereka membeli sesuatu untuk di makan bersama keluarga.
Setelah siap, Mur dan seorang wanita tak kalah cantik dan bertubuh proposional duduk didepan rumah menunggu barang dagangan. Mur yang sedari tadi sibuk tak membuatnya tampak lusuh. Wajahnya yang cantik dan kulitnya yang halus membuat orang-orang mengira ia suka berdandan. Sebenarnya, Mur tak pernah mempunyai banyak waktu untuk berdandan. Cantiknya adalah anugrah dari Yang Maha Kuasa.
Sesekali terlihat orang lewat dengan berjalan kaki. Anak-anak bermain. Orang-orang yang memanfaatkan momen ini dengan berkunjung ke tempat saudara. Dari sinilah semua berawal.

Senin, 02 Februari 2015

Surat Untuk Ibu



Ibu... cintaku padamu tak kan lekang oleh waktu.
Wajah cantik yang berpuluh tahun lalu mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melihat kehidupan baru, kelahiranku. Wajah yang kini mulai menua dan garis-garis keriput tergambar jelas. Mampukah aku membahagiakanmu ibu?
Sungguh cintamu sepanjang jalan dan cintaku sepanjang galah. Berjuta kali aku mencoba membahagiakanmu, tak pernah cukup membayar semua yang kau berikan padaku, bahkan jika aku memberikan seluruh hidup.

Sabtu, 10 Januari 2015

Anak Special (Si Pemaaf yang pertama puasa full)



Riuh suara menggema dikelas satu. Bulan ini adalah bulan pertama mereka berstatus sebagai siswa SD. Seperti biasanya ada yang menangis meminta pulang, minta ditunggui orang tuanya, berkelahi lalu dalam beberapa detik kemudian main bersama kembali, ataupun sekedar berebut mainan. Namun banyak pula yang sudah akrab dengan teman baru, bermain bersama dan berkenalan dengan guru serta kakak kelasnya. Unik. Setiap siswa memiliki pola asuh dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda, baru kali ini saya mampu membuktikan kebenaran bahwa anak adalah gambaran pola asuh orang tuanya. Tiga puluh tujuh siswa yang hebat hari ini dengan karakter yang unik membuatku tertantang untuk mampu menaklukan mereka. Mata penuh sinar kepolosan tanpa dosa, tubuh mungil yang tiada henti bergerak membuatku terpana dengan ciptaan Allah. Mana mungkin aku tak sayang dengan mereka?
Kulihat satu bangku masih setia diduduki oleh pemiliknya, sosok anak yang terlihat mungil dengan mata bulat. Hati menggerakanku mendekati anak ini, “namanya mas siapa?” tanyaku lembut.
“Utsman.” Jawabnya.
“Mas Utsman, main itu sama temennya.” Kataku memintanya mencoba bersosialisasi dengan yang lain. Dan jawabannya hanya senyum.
“Itu main sama mas Naufal ya...” tunjukku kepada salah seorang anak yang sudah aku kenal sebelumnya. Utsman mulai bergerak dari tempat duduknya.
“Mas Naufal, mas Utsman diajak main ya...” kataku kepada Naufal.

Sabtu, 03 Januari 2015

Istikharoh Ananda part 5




Saya, Awan dan rombongan segera berangkat. Sungguh beruntung hari ini cerah. Sampai disana kami masih harus berjalan hingga 30km untuk memasuki daerah ini. Bau anyir darah para syuhada menusuk hidungku. Kami mendapatkan kabar bahwa salah satu perkampungan kembali di bom bersama satu barak pengungsian. Bau ini membuatku sangat mual. Darah berceceran dimana-mana. Tanganku mengeluarkan keringat dingin. Sungguh pemandangan yang menyeramkan. Rumah dan bangunan luluh lantah. Terlihat beberapa orang mengevakuasi di tempat kejadian. Ada yang menyelamatkan dari reruntuhan bangunan, menggendong balita yang kehilangan orang tua dengan luka penuh darah. Tak pernah ku bayangkan kehidupan seperti ini sebelumnya.

Istikharoh Ananda part 4



Aku mencoba menuruti apa kata ibu kali ini. Ia memintaku untuk menikah dan mencarikan jodoh untukku. Sebenarnya aku sudah tidak menginginkan untuk menikah. Tetapi aku pun tak ingin mengecewakan ibu. Perjodohan berjalan lancar. Tanggal pernikahan telah ditentukan. Seluruh anggota keluarga merona bahagia dengan pernikahan ini. Entah kenapa, aku tak bahagia ataupun sedih. Seperti seluruh hidupku tergadaikan demi kebahagiaan semua orang. Jalan hidup menjadi hambar. Bahkan tak lagi mampu merasakan sakit. Mungkin rasa sakit yang ditinggalkan Daffa masih membekas dihati.
Bintang bercahaya, berkedip genit kepada siapapun yang melihatnya. Tepat jam 9 malam aku bersama keluarga berkumpul menyiapkan pernikahan. Ting tong... ting tong... bel rumah berbunyi. Siapa dan untuk apa malam-malam begini mengganggu rumah orang. Pasti ada hal penting. Kakak pertama membukakan pintu. Nampak seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai ke punggung berwajah sendu.
“Assalamu’alaikum, maaf benar ini rumah Ananda?” tanyanya. Merasa namaku disebut aku keluar dan mengintipnya dari balik korden yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.
“Wa’alaikum salam. Iya benar, anda siapa?” tanya Mas Arya.
“Saya Nova. Ada yang ingin saya sampaikan dengan Ananda dan keluarga.” Jawabnya.
“Baik, silahkan masuk.” Jawab Mas Arya.
Kini aku, Mas Ridwan, ibu dan Nova duduk bersama diruang tamu.  Nova mengeluarkan amplop besar berwarna coklat dan memperlihatkan isinya.

Jumat, 02 Januari 2015

Sisi Hati Ridwan



Aku berada pada saat yang tidak beradaya. Seorang anak datang kepadaku bersama rasa sakit yang ia deritanya. Fisiknya baik-baik saja, bahkan tampak sangat kuat yang sakit adalah satu sisi tak nampak dalam hidup yang hingga kini para ilmuan pun tak tahu dimana letaknya. Ia bernama hati. Luka itu sangat dalam menyayat hati hingga sikapnya berbeda dengan anak yang lain. Ia berdiri tepat didepan mataku dengan membawa kain pel untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya melanggar peraturan sekolah.
Tuhan betapa aku ingin menolongnya. Perbincangan ini kami mulai dengan bahasan ringan, tentang siapa namamu, dimana rumahmu, kenapa dihukum, dan pertanyaanku diakhiri dengan siapa nama orang tuamu. Ringan ia menjawab, “aku tidak punya orang tua”. Berdesir hatiku mendengar jawabannya. Sorot mata yang bersinar penuh dendam dan luka. Luka yang mungkin tidak pernah aku dan ia inginkan. Disinilah letak permasalahan yang sebenarnya.
“kok gitu... masak orang tua kok didoain biar cepet mati, eh nanti jadi anak durhaka lho...” jawabku dengan nada ringan menutupi hatiku yang gejolak.
“eh nggak ding bu, ibuku biar tetep sehat dan bahagia. Tapi bapakku biar cepet mati juga gak apa-apa” jawabnya. Astaghfirullah terdapat jawaban yang menguak sakitnya dengan lebih dalam.
“kok gitu... emang bapak kamu kemana?”
“bapak pergi jauh... gak ada kabar, mungkin udah mati...”
Pembicaraan terhenti saat aku dipanggil oleh pak BP yang menyuruhku mengantar sesuatu kekelas XA.
Ini sebuah pelajaran luar biasa untukku, wahai kaum hawa... jangan mau kau diperbudak dengan nafsu yang beratas namakan cinta. Hingga suatu saat kau menyesal dan mengalami luka. Lebih parahnya kau mambawa anakmu dalam lubang penderitaan itu. pilihlah lelaki yang baik agamanya dan bertanggungjawab.
Saat kembali ke ruang hukuman itu, Ridwan selesai melaksanakan hukumannya. Ya... Ridwan nama anak itu. Tidak baik jika ku lanjutkan pembicaraan dengan mengacuhkan jam pelajaran yang harus Ridwan jalani. Inilah satu hal terkuat mengapa aku mau bekerja sebagai staff BK disalah satu sekolah pinggiran kota. Aku ingin menyelamatkan anak-anak seperti Ridwan agar mereka punya masa depan.
Aku meminta masalah ini segera ditangani oleh kepala BK disana, namun responnya negatif. Ia tak mau menanganinya dengan alasan, “bisa berbuat apa kita, itu adalah takdir Tuhan untuknya”. Dan aku kembali bersikap tegas, “maaf pak, alasan saya mau bekerja disini adalah untuk ini. Ilmu saya tidak akan bermanfaat jika saya tidak bisa menyelamatkan mereka. Jika memang bapak tidak mau menanganinya biar saya yang menanganinya.” Dan akhirnya dengan itu, kepala BK disana bersedia menangani kasus tersebut. Dan aku sebagai pelaksana lapangan.
Aku mulai dengan satu langkah, pagi ini. Surat panggilan itu datang ke kelas XI IA 1. Menyuruh Ridawan keluar dan menemuiku. Pertemuan itu berlanjut di kantin sekolah. Ku korek informasi tentang Ridawan dan keluarganya. Dan aku menemukan satu titik terang yang akan ku ceritakan nanti saat aku berkunjung ke rumah Ridwan. Biar kalian dengar sendiri cerita ini dari ibunya Ridwan
Siang ini, matahari tak begitu menyengat tapi tetap cerah. Aku berjanji kepada Ridwan untuk main ke rumahnya. Dan disanalah aku akan menemui keluarganya. Disana aku menemui sesosok wanita yang berusia hampir 40 tahun sedang menjemur padi. Ini musim panen. Di rumah seribu jendela itu, aku berbicara dengan ibu Rodiyah. Ibunya Ridwan. Aku mulai dengan sedikit basa-basi dan menyasar ke permasalahan inti.
“mohon maaf bu Rodiyah, jika boleh saya bertanya dimana bapaknya Ridwan ya bu?” ku tatap wajah ibu itu, matanya nanar.
“bapaknya Ridwan pergi. Dari Ridwan usia 10 tahun. Bapaknya itu tukang mabuk, setiap hari pulang dengan keadaan mabuk, ia juga tidak mau bekerja. Setiap pulang adanya Cuma marah-marah. Ndak Cuma itu, ia juga gak segan-segan memukul kalo saya ndak mau menuruti kemauannya. Hingga pada hari itu, Ridwan yang masih 10 tahun bermain di ruang ini saat bapaknya pulang dalam kondisi setengah mabuk. Saat melihat Ridwan yang asik bermain mobil-mobilan dengan suara agak keras, ia membating Ridwan hingga Ridwan pingsan dan darah membanjiri seluruh kepalanya. Dan hingga kini luka itu masih membekas. Setelah kejadian itu, bapaknya Ridwan tidak menampakan dirinya. Dan saya segera mengurus surat perceraian. Saya dan Ridwan tidak berharap dia kembali lagi. Kami sudah bahagia hidup seperti ini.” Cerita Bu Rodiyah.
“ lalu Ridwan sekolah dengan biaya siapa bu?”
“ridwan disekolahkan oleh pak dhenya. Itu rumah pakdhe nya. Saya sendiri bekerja seperti ini Cuma cukup buat makan sehari-hari. Jadi pakdhenya Ridwan ini sangat membantu saya bahkan dalam menggantikan peran sebagai bapaknya.”
“mohon maaf sebelumnya, bukan maksud saya mencapuri urusan keluarga ibu. Tapi yang saya lihat, Ridwan itu trauma dengan kejadian itu. mungkin karena itu, ia berperilaku sedikit nakal dan tidak mematuhi tata tertib di sekolah. Mungkin karena ia juga merasa kurang kasih sayang.”
Dan mata nanar itu kini membasahi pipi denga air, “saya juga bingung bu... mau mengajari Ridwan, saya sendiri bodoh. Saya Cuma pingin ia bisa pandai dan menjadi orang sukses. Saya mungkin bukan ibu yang baik buat Ridwan, tapi saya berusaha yang terbaik untuk dia.” Suaranya sengau karena perih yang sudah tidak tertahan.
Dari balik pintu, Ridwan sedang menangis merenungi kesalahannya. Ibunya bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhannya namun ia belum bisa membanggakan ibunya. Ia keluar dari balik pintu, ia bersimpuh di kaki sang ibu dan meminta maaf. Dengan suara sengaunya, Ia berjanji akan menjadi anak yang baik, akan rajin belajar dan menjadi orang sukses seperti keinginan ibunya. Mungkin persepsi semua orang Ridwan tak lebih dari anak nakal. Tapi inilah kekuatan ibu, tapi ia adalah anak yang berbakti.
Dan ijinkan saya membuka rahasia nama Ridwan. Malam itu, seorang bayi lahir dari satu rumah kecil namun bahagia. Sang ayah yang bertanggung jawab berjuang membawa bidan malam hari saat hujan lebat untuk menolong persalinan istri tercintnya. Rumah yang orang bilang bahagia walaupun minim pemahaman agamanya. Saat suara bayi menggelegar memecah keheningan pertand a lahirnya seorang anak yang dinantikan. Kedua orang tuanya berharap anak ini menjadi malaikat yang mempersilakan kedua orang tuanya ke surga. Maka mereka menamakan anak ini dengan nama Ridwan, malaikat penunggu pintu surga. Dan doa malaikat mengamininya.... walaupun ia akan hidup didunia yang berat namun kelak ia akan membawa orang tuanya ke surga. Ridwan akan menjadi anak yang berbakti dan pemaaf walau luka hatinya begitu dalam. Dalam catatan Tuhan ia kelak akan menjadi seorang kaya yang dermawan dan berbakti kepada orang tua. Cinta Allah bersamanya didunia...
Ujian akhir semester telah usai, hari ini raport di berikan kepada wali murid masing-masing. Hari ini hari istimewa untuk Ridwan, ibu tercintanya mengusahakan mengambil sendiri raport Ridwan. Dan Ridwan membuktikan janjinya. Ia mendapatkan 10 besar semester ini. Kini air mata yang keluar dari mata bu Rodiyah adalah air mata kebahagiaan. Bangga terhadap anak semata wayangnya. Pujian dari guru dan temannya meluncur tanpa henti. Ridwan yang baik, pintar dan berbakti.
Dan lihatlah apa yang diazamkan dalam hatinya. Ia berazam semester depan akan mencetak prestasi yang lebih baik lagi. Untuk Allah dan untuk ibunya. Dan janji itu terpatri didalam hati.
Wahai kaum hawa... ditelapak kakimu dititipkan surgaNya. Rawatlah anakmu menjadi anak yang sholeh-sholehah karena ia hanyalah titipan Allah untuk kau bimbing. Berilah ia kasih sayang karena kekuatan sayangmu adalah kekuatan sayang terbesar didunia ini untuk anakmu. Dan itulah sebagian dari 1 cinta yang Allah turunkan didunia. Dan Allah masih memiliki 99cinta. Mencintailah dan berkasih sayanglah... karena anakmu berhak mendapatkannya.