Kamis, 04 Desember 2014

ISTIKHARAH ANANDA part 2



Hari demi hari berlalu setelah ku putuskan untuk belum menerima kehadiran Daffa. Ternyata bukan hal mudah, tetapi hati ini jauh lebih tenang. Aku dan Daffa membuat kesepakatan bahwa kami tidak akan berkomunikasi dengan intens lagi. Tidak akan komen atau like status facebook satu sama lain. Aku hanya ingin menjaga hatinya dan hatiku untuk selalu berada di jalanNya. Bahwa hidup tak melulu untuk cinta yang ‘itu’. Walau aku telah memilih untuk hidup berada dalam satu cinta, cinta kepada Rabbul Izzati. Dilantai dua gedung baru sekolah yang sebenarnya belum jadi sempurna, aku bersama dengan ‘si putih’ menulis catatan perjalanan hidup. Terlihat jelas hamparan sawah dan dua gunung merapi dan merbabu pagi ini begitu indah. Hari ini cukup lenggang karena hanya mengajar 2 jam pelajaran. Dibelakang, anak-anak bersama dengan ustadzahnya bermain sambil belajar. Terlihat tawa mereka yang begitu riang. Betapa bahagianya mereka. Aku sendiri larut dalam ingatan 3 tahun yang lalu. Saat itu mungkin adalah kali pertama dan terakhir aku menitikan air mata di Organisasi Dakwah Intern Kampus(ODIK).
“jadi kepengurusan ODIK benar-benar sudah terbentuk?” tanyaku kepada Mbak Azira. Air mata mengalir begitu saja. Tak tahu apa yang aku rasa. Di satu lubuk hati ini seperti diambil paksa dan disayat. Perih.

“Iya dek, kita sudah dilantik.” Jawabnya penuh semangat karena belum melihat ekspresi wajahku.
“kamu nangis dek?” tanya mbak Azira. Tubuh itu memelukku dengan hangat. Walau tak mampu menghilangkan rasa ‘terbuang’. Yah... mungkin tepat jika aku merasa terbuang. Aku lepaskan pelukan itu, aku terlanjur tersakiti dengan keadaan atau mungkin keputusan beberapa orang.
“tadinya aku masih sangat berharap menjadi bagian dari kalian. Aku merasa nyaman disini, berjuang bersama kalian. Bahkan tak sedikitpun aku membayangkan hanya harus aktif di Lembaga Dakwah Esksternal Kampus (LDEK). Karakterku tak cocok dengan mereka. Bahkan belum hilang dari ingatan kita bahwa aku di fitnah oleh orang yang sekarang memimpin lembaga itu. Haruskah aku disana mbak? Mengorbankan semua visi misi dan target yang aku dan teman-teman HUMAS ODIK tulisan dibuku catatan perjalanan kami.” Kataku tersedu pilu.
“bukankah kamu menyetujuinya?” tanya mbak Azira.
“Iya, tapi ternyata persetujuan itu tak lebih mudah dari perjalanannya. Aku menyetujuinya karena para tetua kedua organisasi mengatakan LDEK tak memiliki banyak orang. Tapi ternyata disana sudah terlalu banyak orang. Kenapa harus berbohong? Apa aku masih dianggap anak kecil yang tak bisa menentukan pilihan?” kataku.
“sabar dek... dimanapun yang terpenting kita masih berkontribusi dalam dakwah islam, bekerjalah maksimal, dan tuliskan ulang visi misimu di lembaga itu.” Katanya dengan mata nanar
“aku hanya bisa berusaha memberikan semaksimal mungkin. Tapi aku tak tau apakah aku akan bertahan disana lebih lama atau tidak.” Jawabku pasrah dan air mata itu terus mengalir.
Benar saja, ketidakcocokan karakter yang membuat saya dan teman-teman sering missed komunikasi. Sedangkan semua teman-temanku di ODIK sibuk dengan agenda mereka masing-masing. Guru ngaji yang aku harapkan petuahnya disaat seperti ini sedang sibuk membina rumah tangga yang baru saja di ikrarkan. Sendiri. Dan aku hanya diam termenung, mungkin aku yang harus berubah.
Perubahan demi perubahan aku jalani. Perkataan beberapa orang tetap tidak berubah. Memandangku buruk. Parahnya yang memandang seperti itu adalah orang-orang yang memegang jabatan diatasku. Hal terberat adalah ketika aku sedang berbincang dengan teman yang kebetulan sesama aktivis LDEK dan juga sesama teman BEM. Kami berbincang tidak hanya berdua setelah jam kuliah selesai mengenai acara BEM selanjutnya. Pemimpin LDEK melihatnya, tanpa tabayun dan konfirmasi ia menyebarkan berita bahwa aku menjalin hubungan khusus dengan Rasyid. Walaupun merasa biasa dengan berita-berita buruk tentangku, berita buruk kali ini membuat aku tidak terima. Rasyid yang akhirnya memutuskan untuk keluar dari Lembaga, dan aku masih diam. Ternyata kabar itu tidak berhenti bahkan semakin menjadi-jadi. Rasyid yang kos bersama dengan teman-teman se-LDEK akhirnya memutuskan untuk keluar dari kos.
Dan aku? Aku habiskan malam-malam dengan lebih banyak Qiyamul lail dan istikharoh. Saat-saat sulit untuk menentukan apakah tetap bertahan atau keluar dari jalan ini. Mungkin hal ini masalah mudah bagi sebagian orang. Tapi bukan untukku. Ini masalah keyakinan dan cinta. Cintaku kepada Rabb-ku. Ku panjatkan segala puji bagi Illahi Robbi. Dzikir. Tilawatil Qur’an. Kedua tangan menengadah ke langit, meminta kepada Rabb pemilik diri ini.
Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan yang tepat kepadaMu dengan ilmuMu, aku memohon kepadaMu untuk menyelesaikan masalahku dengan kekuasaanMu, dan aku memohon karuniaMu dengan KeagunganMu, karena hanya Engkaulah yang berkuasa sendangkan aku tak berkuasa. Engkau Maha Mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui dan Engkaulah yang mengetahui perkara ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa keluar dari LDEK baik bagiku, agamaku dan kehidupanku sert baik pula akibatnya didunia dan akhirat, maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan ini bagiku. Kemudian berkahilah aku dalam urusan ini. Dan sekiranya Engkau tahu bahwa keluar dari LDEK buruk bagiku, agamaku dan kehidupanku serta buruk pula akibatnya didunia dan akhirat, maka jauhkanlah urusan ini dari ku. Dan auhkanlah aku dari urusan ini dan takirkanlah kebaikan untukku dimanapun, dan Ridhokanlah hatiku dengan keputusanMu. Aaamiiin..
Aku hembukan napas kuat. Tarik napas lagi dan dihembuskan dengan kuat. Tut tut.. tut tut... dering sms masuk. Sms tausiyah dari Daffa.
Bagitu banyak warna dalam perjalanan kita,
ada yang tetap bertahan, namun tak sedikit yang pergi meninggalkannya.
Begitulah jalan dakwah mengajarkan kita tentang ukhuwah,
tentang pengorbanan dan keikhlasan.
Kadang kesal, kadang lelah, kadang canda, kadang tawa.
Tak kuat rasanya untuk berthan, namun sayang untuk ditinggalkan.
Kadang hati bertanya, “Ya Allah... kapan kami bisa beristirahat dari jalan ini?”
jawabnya, nanti ketika tiba waktu dimana kaki-kaki kita menginjak surga.
(ust. Rahmat Abdullah)
Ya Allah... jawabankah ini? Air mata ini kembali mengalir. Sel-sel otak menyatu dan berharap menemukan secerca cahaya keikhlasan jika ini adalah jawabannya. Sakit rasanya jika harus terus bertahan. Namun benar, sayang untuk ditinggalkan.
Pagi hari saat menuju kekelas, Akh Utsman (mantan ketua LDEK) tabayun kepadaku meminta kejelasan atas berita yang beredar. Walau terasa terlambat karena Rasyid akhirnya keluar tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Dari hasil tabayun, Akh Utsman siap memfasilitasi pertemuan antara aku dan Ridho (ketua LDEK) bersama dengan beberapa teman yang dipercaya untuk menjadi saksi. Diantara putra dan putri ada hijab lebar sehingga kami tak saling melihat. Ridho menjelaskan alasannya membuat stetment bahwa aku berpacaran dengan Rasyid dan aku diberi hak jawab atas perasangkanya. Dalam penyelesaian masalah, aku meminta untuk namaku diperbaiki. Akupun memutuskan untuk non aktif sampai periode ini berakhir. Karena aku merasa tidak bisa lagi bekerja dengan pemimpin yang pernah memfitnahku. Ridhopun meminta maaf.
Duniaku kembali. Belajar memaafkan walau sulit. Belajar ikhlas walau tak semudah teori. Belajar sabar hingga tak peduli. Berharap Dia memperbaiki akhaknya.
Periode perjalanan kepemimpinan Ridho selesai. Aku kembali diaktifkan dalam lembaga. Dan Rasyid tetap bersikeras tak mau lagi kembali. Perasangka itu sangat dahsyat. Perasangka tanpa dasar yang diberitakan kepada orang-orang, telah membuat salah seorang teman pergi meninggalkan jalan ini. Rasyid pernah bertanya kepadaku usai kuliah, karena kami sekelas.
“Nan, kenapa kamu masih bertahan di LDEK?”
“aku meyakini ini adalah jalan Allah. Keburukan itu hanya karena manusianya. Kalau dakwahnya tergantung bagaimana kita mengisinya. Jika bukan karena Allah mungkin saya sudah keluar dari sana.” Jawab saya lantang.
“Bagaimana bisa kamu semantap itu? Bukankah berdakwah juga pilihan. Dimanapun dan kapanpun kita bisa berdakwah dimana saja, tak harus disana?” tanyanya dengan nada heran dengan keputusanku.
“ingat kata ust Rahmat Abdullah? Bagitu banyak warna dalam perjalanan kita, ada yang tetap bertahan, namun tak sedikit yang pergi meninggalkannya. Begitulah jalan dakwah mengajarkan kita tentang ukhuwah, tentang pengorbanan dan keikhlasan. Kadang keasl, kadang lelah, kadang canda, kadang tawa. Tak kuat rasanya untuk berthan, namun sayang untuk ditinggalkan. Kadang hati bertanya, “Ya Allah... kapan kami bisa beristirahat dari jalan ini?” jawabnya, nanti ketika tiba waktu dimana kaki-kaki kita menginjak surga.” Jawabku dengan senyum. “fitnah yang sudah berlalu biarkan saja, itu perbuatan manusia dan Allah tidak tidur. Aku disini karena Allah, kalaupun harus keluar atau pergi, tentu saja itu juga karena Allah” jawabku mantap.
Ridho tersenyum, pamit pergi. Dan bayang tubuhnya menghilang dibalik tembok. Dalam hati aku berdoa, ‘Ya Allah teguhkanlah dia dan aku Jalan-Mu’. Sejujurnya hingga kini, aku tak tau pilihan yang ku buat adalah pilihan yang tepat ataukah piihan yang bodoh. Atau pilihan bodoh yang tepat. Entahlah.
Anak kecil dengan ceria memelukku dengan tubuh kecilnya sambil berteriak, “Ustadzaaaahhhh”. Teriakan yang membuyarkan ingatan masa laluku.
“O... Yazakka... ustadzah kira siapa tadi. Tiba-tiba buat ustazdah kaget.” Jawabku dengan senyuman dan dibalas juga dengan senyuman. Ternyata ini sudah jam istirahat.
“ayo... sekarang kan waktunya sholat dluha... kalau tidak segera wudlu nanti sholatnya terlambat.” Kataku kepada anak-anak.
Melihat wajah-wajah mungil tanpa dosa ini, membuat hati tenang. Seolah masalah hilang ditelan bumi, yang ada hanyalah keceriaan.
Gemolong, 30 Juli 2014 22:07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar