Aku mencoba
menuruti apa kata ibu kali ini. Ia memintaku untuk menikah dan mencarikan jodoh
untukku. Sebenarnya aku sudah tidak menginginkan untuk menikah. Tetapi aku pun
tak ingin mengecewakan ibu. Perjodohan berjalan lancar. Tanggal pernikahan
telah ditentukan. Seluruh anggota keluarga merona bahagia dengan pernikahan
ini. Entah kenapa, aku tak bahagia ataupun sedih. Seperti seluruh hidupku
tergadaikan demi kebahagiaan semua orang. Jalan hidup menjadi hambar. Bahkan tak
lagi mampu merasakan sakit. Mungkin rasa sakit yang ditinggalkan Daffa masih
membekas dihati.
Bintang bercahaya,
berkedip genit kepada siapapun yang melihatnya. Tepat jam 9 malam aku bersama
keluarga berkumpul menyiapkan pernikahan. Ting tong... ting tong... bel rumah berbunyi.
Siapa dan untuk apa malam-malam begini mengganggu rumah orang. Pasti ada hal
penting. Kakak pertama membukakan pintu. Nampak seorang perempuan cantik dengan
rambut tergerai ke punggung berwajah sendu.
“Assalamu’alaikum,
maaf benar ini rumah Ananda?” tanyanya. Merasa namaku disebut aku keluar dan mengintipnya
dari balik korden yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.
“Wa’alaikum
salam. Iya benar, anda siapa?” tanya Mas Arya.
“Saya Nova. Ada
yang ingin saya sampaikan dengan Ananda dan keluarga.” Jawabnya.
“Baik,
silahkan masuk.” Jawab Mas Arya.
Kini aku, Mas Ridwan, ibu dan Nova duduk bersama diruang tamu.
Nova mengeluarkan amplop besar berwarna coklat dan memperlihatkan isinya.
“Maaf bu, saya
tidak bermaksud menghancurkan kebahagiaan keluarga ibu. Saya hanya mencari
keadilan.” Katanya dan kami mendengarkan dengan seksama. “Ini adalah bukti
visum saya. Saya dan Bima adalah sepasang kekasih dan hubungan kami telah sejauh
ini. Sekarang, saya harus menanggung malu atas perbuatannya. Saya memohon
kepada ibu dan keluarga dengan kerendahan hati untuk membatalkan pernikahan
ini.” Katanya dengan berurai air mata. Aku dan ibu diam mematung.
“dari mana
kami tau bukti ini benar?” tanya Mas Ridwan. Nova terlihat mengeluarkan
lembaran kertas foto dan meunjukan kepada kami
“Ini adalah
foto saya bersama Bima saat kami berpacaran.” Jawabnya.
Kakak melihat foto itu dan memeriksanya. Foto bukan editan. Itu
berarti perempuan ini mungkin benar. Kami putuskan untuk mengkroscek berita ini
kepada keluarga dan beberapa teman Bima. Bima adalah orang yang dijodohkan
denganku. Hasilnya semua benar.
Rabb...
apalagi yang Kau rencanakan dalam hidupku? Dulu Kau timpakan rasa sakit atas
pertemuanku dengan Daffa, dan kini namaku terasa tercemar. Mas Ridwan merasa
bersalah dengan mengenalkanku pada Bima. Aku hanya bisa mematung dan membisu. Air
mata terasa telah kering karena terlalu sering dikeluarkan. Semua bingung
dengan sikapku. Rapat keluarga mendadak ini tak menghasilkan apapun karena aku
hanya diam.
Sebelum masuk
kamar, kubasahi diriku dengan air wudhu. Kuambil sajadah, menggelarnya, sujud
dan rukuk. Istikharoh. Tenang dan damai kurasa. Sejenak merenung dan berpikir. Berkali-kali
dan entah akankah terulang lagi. Ku ambil buku diary berwarna pink diatas meja.
Dear Allah...
Allah... aku
belum mampu mengambil hikmah dari semua ini. Sungguh belum kupahami maksud dari
semua ujian ini. Dan kini aku tak ingin lagi menikah. Ridhoi keputusan ini Rabb...
aku tak mau sakit hati lagi dan lagi.
Rabb... akupun
merasa tak lagi sanggup hidup disini dengan semua gunjingan orang kepadaku. Aku
titipkan ibuku, keselamatan dan kesejehateraannya padaMu.
Aku ingin
meniti karirku sendiri. Keluar dari tempat ini dan pergi ke kota setidaknya
untuk mengikhlaskan semua kejadian ini.
-Ananda-
Pagi ini ku sampaikan permintaanku untuk pergi ke kota dengan semua alasan. Hidup telah melatihku untuk menjadi orang yang kuat, bahkan ketika aku terjatuh, aku mampu untuk berdiri sendiri. Aku telah mati rasa. Aku hidup hanya dengan logikaku. Aku tak mau terjatuh dalam lubang yang sama. Tak ada yang mampu menahanku ketika aku sudah mengambil keputusan. Apalagi aku telah berusaha melakukan apa yang mereka pinta dan berakhir dengan kekecewaan.
Aku berangkat lusa. Sebelum itu, aku kirimkan surat pengunduran diri dari tempatku bekerja. Yazakka... salah satu murid tersayang. Mungkin aku akan merindukannya. Tetapi hidup adalah pilihan. Sekarang aku memilih dan aku akan menjalani.
Tiba waktu untukku berangat. Depok adalah kota tujuanku. Aku diberi kabar oleh salah seorang teman disana bernama Salsa, bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai redaksi majalah Al Adzkia. Salah satu majalah islam populer di Indonesia. Peneyebaran majalah ini tak hanya di pulau Jawa tetapi juga sudah menyebar ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau-pulau lainnya. Aku mencoba melamar disana hanya berbekal riwayat organisasi pernah 5 kali menjadi pimpinan redaksi majalah sekolah dan BEM. Tulisanku tak begitu buruk. Portopolio tulisanku bawa. Berharap ini akan membantuku mendapatkan pekerjaan.
Kereta Argo Lawu jurusan Solo Balapan-Gambir telah gagah
berdiri menunggu penumpang naik. Untuk diantarkan sampai tujuan. Ibu, Mas Arya,
Mas Ridwan dan Mbak Airin mengantarku sampai Stasiun. Doa dan nasehat meluncur
satu persatu dari mereka.
Dari Gambir
aku harus naik Bajaj ke Stasiun Juanda. Lalu naik kereta ke Depok Baru. Di Depok
Baru, Salsa akan menjempuku. Di Depok aku dan Salsa akan tinggal bersama di
kosan daerah Margonda. Di sanalah kantor majalah Al Adzkia berada.
“Nanda....”
Teriak Salsa saat menjemputku. Peluk hangat kedua sahabat yang lama tak jumpa
terpisah oleh jarak. Rindu. “Kamu kok tambah kurus nan?” tanyanya.
“Iya... aku
diet.” Jawabku senyum dengan nada
gurauan. Salsa tau masalahku, dan ia tau bahwa penurunan berat badan ini
disebabkan karena itu.
“Kamu kok
diet? Sepertinya tidak mungkin. Sindrom tidak mau makan saat stres sepertinya
masih aja. Kasian tuh perut.” Kata Salsa sambil menunjuk bagian perutku. Ia tahu
benar bahwa aku memiliki penyakit pencernaan yang cukup parah. Sekali kumat
bisa-bisa menurunkan 2-5 kg berat badan. Aku menjawabnya dengan senyum. “Yuk
kita ke kos. Mudah-mudahan kamu betah ya disini. Ini kos khusus muslimah. Jadi gak
usah khawatir, pergaulannya aman terkendali.” Celoteh Salsa.
Setelah dua hari berada di kos Salsa. Panggilan kerja dari
majalah Al Adzkia datang. Ada 30 pelamar. Hari pertama tes tertulis, lalu dua
hari setelahnya interview. Aku gugup luar biasa. Dalam beberapa detik aku mampu
mengendalikan diri. Dihadapanku ada 5 orang yang mewawancarai. Tiga laki-laki
dan dua perempuan. Salah satunya adalah Salsa. Salsa telah menjadi tim inti
dari majalah ini. Aku tak berharap mendapatkan nilai lebih karena Salsa adalah
temanku. Tetapi akupun tetap berjuang bahwa aku pantas berada di majalah ini. Aku
percaya bahwa Salsa profesional. Aku mengenalnya sejak ia menjadi ketua editor
majalah sekolah dulu. Pembawaan yang tegas, profesional dan kreatif yang
membuatku suka dengan etos kerjanya. Dari 10 orang yang diinterview hanya 3
orang yang akan diterima. aku mengeluarkan portofolio, memperkenalkan blog yang
aku kelola dan kumpulan karya yang belum dimuat. Semoga bisa menjadi
pertimbangan.
Hari pertama
aku bekerja di majalah Al Adzkia, 1 bulan masa training. Aku bergabung dengan
redaksi yang mengelola rubik Tsaqofah, Refleksi dan Feature. Semua adalah
artikel ringan. Aku bekerja sebaik mungkin. Beberapa kali tulisanku dikoreksi. Disini,
hampir semua orang to the poin. Jika tak lapang dada, maka mental akan drop. Semua
koreksi menjadi acuanku. Aku berada dalam tim yang dipimpin oleh Bu Witra. Bu Witra
membimbingku hingga menemukan karakter menulis.
Beberapa bulan berjalan, tim redaksi Pak Awan kekurangan
anggota karena ada yang cuti melahirkan. Aku dipindah ke kelompok Pak Awan. Sebenarnya
Pak Awan masih muda, ia berusia beberapa tahun diatasku. Tampangnya cool bahkan
bisa dibilang wajah tanpa ekspresi. Pembawaan yang berwibawa, tak banyak bicara
tetapi sekali berbicara sangat mengena. Bahkan komentar atas tulisanku di
kritik simpel dan tepat sasaran.
Aku kembali
menemukan titik kebebasan disini. Tak lagi dirisaukan dengan urusan menikah. Bebas
berkarya, bebas berpendapat dan bebas melakukan hal yang aku inginkan. Beberapa
bulan sejak aku di Depok, aku hanya seminggu sekali telpon ke rumah. Aku masih
risih dengan pembicaraan tentang jodoh dan pernikahan. Aku ingin fokus dengan
apa yang aku kerjakan sekarang. Maaf ibu jika mengecewakanmu. Mungking memang
ini jalan hidupku.
Sepulang kerja aku dan Salsa menyempatkan diri
berjalan-jalan mencari kebutuhan bulanan. Kami bercerita dari hati ke hati. Ia
mengerti kondisiku dan membuatku nyaman. Tak seperti yang lain. Di kantor
sendiri, teman-teman menjodoh-jodohkanku dengan Pak Awan. Alasannya karena hanya
aku yang betah dengan sikap Pak Awan yang serius dan super nakutin. Aku sendiri
menjadi risih. Tapi wajah tanpa ekspresi Pak Awan masih tenang.
Pagi ini, aku
dipanggil Pak Rahmat. Beliau adalah pimpinan redaksi majalah kami. Sebelum aku
datang, ternyata Pak Awan sudah duduk tenang didepan meja Pak Rahmat.
“Assalamu’alaikum.
Bapak memanggil saya?” tanyaku.
“Wa’alaikum
salam. Duduk nan.” Kata pak Rahmat.
“Baik kalian
sudah berada disini. Saya mau mengatakan bahwa kalian berdua ditugaskan untuk
datang ke daerah konflik.” Kata Pak Rahmat. Wajahku berubah. Aneh. Hanya kami
berdua? Melihat ekspresi wajahku Pak Rahmat melanjutkan perkataannya, “Kalian
tidak berangkat berdua, kalian akan bersama dengan Tim Dokter dari Mer-C. Saya ingin
kalian memboomingkan masalah ini. Saudara kita sesama muslim menderita disana
dan tidak ada publikasi dari media apapun. Dan dua TV lain, bekerja sama dengan
kita dalam hal ini. Kalian punya tanggung jawab penting. Karena kalian akan
menjadi tim. Saya harap kalian bisa kompak. Ini surat tugas kalian.” Kata pak
Rahmat membuatku tenang.
“Baik Pak,
saya akan berusaha sebaik mungkin.” Jawab Awan.
“InsyaAllah
pak. Kapan kami berangkat?” aku adrenalinku tertantang.
“Lusa kalian
berangkat, Nanda hari ini saya beri ijin kamu untuk pulang kekampung halaman
untuk meminta ijin dan berpamitan. Segala sesuatunya akan dipersiapkan oleh
Awan” Kata Pak Rahmat.
“Baik pak. Terimakasih.” Jawabku. Aku dan Awan keluar dari
ruangan Pak Awan.
Aku sendiri
ragu, akankah aku memnafaatkan ijin ini? Sejujurnya aku belum ingin pulang. Dan
jika aku meminta ijin, belum tentu aku mendapatkannya. Tetapi bagaimanapun aku
tetap harus meminta ijin. Aku putuskan untuk pulang dengan pesawat hari ini dan
kembali besok sore. Mas Arya menjemputku di Bandara Adi Sumarmo Solo.
Sampai dirumah
peluk hangat ibu dan saudara-saudaraku menyambut. Saat obrolan santai di ruang
makan, barulah aku sampaikan tugasku.
“Bu, Nanda
ditugaskan dari kantor untuk ke Daerah konflik....”kata-kataku belum selesai
sudah dipotong ibu.
“Biarkan
temanmu lain yang berangkat.” Potong ibu.
“Bu, Nanda
tidak ingin berdebat dengan ibu. Ibu juga tau, Nanda pasti berangkat. Nanda hanya
meminta doa ibu agar Nanda selamat disana.” Jawabku ngeyel.
Semua anggota keuarga tau, jika aku telah membuat keputusan
maka tak kan terbantahkan. Akhirnya dengan segala berat hati mereka
mengikhlaskan aku pergi ke daerah konflik itu.
Jam keberangkatan hampir
tiba, kami di brefing untuk apa yang harus kami lakukan. Menyamar menjadi turis
sampai berkumpul di suatu tempat yang ditentukan. Dokter Aida adalah istri
pimpinan rombongan. Mereka mensyaratkan aku untuk menikah sebelum berangkat
kesana. Agar ada yang menjagaku.
“Nan, kami
mohon sebelum kita berangkat, kamu dan Awan menikah. Semua diantara kami telah
memiliki pasangan dan saling melindungi. Kita tau bahwa disana terdapat
kejahatan perang. Tak ada jaminan aman bahkan ketika kamu berada di barak
pengungsian.” Kata mengagetkanku.
“Maaf dok,
saya kira saya bisa menjaga diri saya sendiri. Di awal saya ditugaskan, tidak
ada kesepakatan bahwa saya harus menikah. Saya disini karena pekerjaan. Mohon maaf
saya tidak bisa.” Kataku dengan nada sedikit tinggi.
“Nan... kami
mohon, kita tak pernah tau apa yang terjadi disana.” Kata dokter Aida.
“Dok, lebih baik
saya tidak berangkat dari pada saya harus dipaksa menikah. Lebih baik saya mati
disana dalam menjalankan tugas dari pada harus terikat. Jika dokter memaksa,
saya akan berbicara kepada Pak Rahmat untuk tidak berangkat, bahkan jika saya
harus kehilangan pekerjaan.” Kataku dengan nada marah.
“Nan, kami
sudah meminta ijin walimu, juga Pak Rahmat. Kami mohon...” Kata dokter Aida
yang masih sabar dan lembut menghadapi keras kepalaku.
“Dok, hidup
ini saya yang menjalani bukan mereka. Saya bersedia mengcansel keberangkatan
saya. Jika itu syaratnya.” Jawabku tegas tanpa kompromi.
Baru kali itu
aku melihat sorot mata redup dan ekspresi kaget dari Awan. Semua tak mampu
menahan kekeraskepalaanku.
Kalian sungguh
tak mengerti apa yang aku rasakan. Mendengar kata ‘menikah’ saja rasanya sudah
membuatku mual. Aku tak mengingikannya. Aku bahagia dengan hidupku yang
sekarang. Dan kalian tak tau bagaimana sakitnya rasa kecewa ini. Dalam waktu
ini, aku sedang belajar. Belajar berdamai dengan hidup. Jadi aku mohon jangan
pernah keluarkan kata-kata itu lagi. Apalagi memaksaku menjalaninya. Maaf mengecewakan.
Aku benar-benar tidak bisa.
ananda banget..... sip dah pokok e........
BalasHapushmmm.... ya deh. makasih
Hapus