Sabtu, 03 Januari 2015

Istikharoh Ananda part 4



Aku mencoba menuruti apa kata ibu kali ini. Ia memintaku untuk menikah dan mencarikan jodoh untukku. Sebenarnya aku sudah tidak menginginkan untuk menikah. Tetapi aku pun tak ingin mengecewakan ibu. Perjodohan berjalan lancar. Tanggal pernikahan telah ditentukan. Seluruh anggota keluarga merona bahagia dengan pernikahan ini. Entah kenapa, aku tak bahagia ataupun sedih. Seperti seluruh hidupku tergadaikan demi kebahagiaan semua orang. Jalan hidup menjadi hambar. Bahkan tak lagi mampu merasakan sakit. Mungkin rasa sakit yang ditinggalkan Daffa masih membekas dihati.
Bintang bercahaya, berkedip genit kepada siapapun yang melihatnya. Tepat jam 9 malam aku bersama keluarga berkumpul menyiapkan pernikahan. Ting tong... ting tong... bel rumah berbunyi. Siapa dan untuk apa malam-malam begini mengganggu rumah orang. Pasti ada hal penting. Kakak pertama membukakan pintu. Nampak seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai ke punggung berwajah sendu.
“Assalamu’alaikum, maaf benar ini rumah Ananda?” tanyanya. Merasa namaku disebut aku keluar dan mengintipnya dari balik korden yang membatasi ruang tengah dengan ruang tamu.
“Wa’alaikum salam. Iya benar, anda siapa?” tanya Mas Arya.
“Saya Nova. Ada yang ingin saya sampaikan dengan Ananda dan keluarga.” Jawabnya.
“Baik, silahkan masuk.” Jawab Mas Arya.
Kini aku, Mas Ridwan, ibu dan Nova duduk bersama diruang tamu.  Nova mengeluarkan amplop besar berwarna coklat dan memperlihatkan isinya.

“Maaf bu, saya tidak bermaksud menghancurkan kebahagiaan keluarga ibu. Saya hanya mencari keadilan.” Katanya dan kami mendengarkan dengan seksama. “Ini adalah bukti visum saya. Saya dan Bima adalah sepasang kekasih dan hubungan kami telah sejauh ini. Sekarang, saya harus menanggung malu atas perbuatannya. Saya memohon kepada ibu dan keluarga dengan kerendahan hati untuk membatalkan pernikahan ini.” Katanya dengan berurai air mata. Aku dan ibu diam mematung.
“dari mana kami tau bukti ini benar?” tanya Mas Ridwan. Nova terlihat mengeluarkan lembaran kertas foto dan meunjukan kepada kami
“Ini adalah foto saya bersama Bima saat kami berpacaran.” Jawabnya.
Kakak melihat foto itu dan memeriksanya. Foto bukan editan. Itu berarti perempuan ini mungkin benar. Kami putuskan untuk mengkroscek berita ini kepada keluarga dan beberapa teman Bima. Bima adalah orang yang dijodohkan denganku. Hasilnya semua benar.
Rabb... apalagi yang Kau rencanakan dalam hidupku? Dulu Kau timpakan rasa sakit atas pertemuanku dengan Daffa, dan kini namaku terasa tercemar. Mas Ridwan merasa bersalah dengan mengenalkanku pada Bima. Aku hanya bisa mematung dan membisu. Air mata terasa telah kering karena terlalu sering dikeluarkan. Semua bingung dengan sikapku. Rapat keluarga mendadak ini tak menghasilkan apapun karena aku hanya diam.
Sebelum masuk kamar, kubasahi diriku dengan air wudhu. Kuambil sajadah, menggelarnya, sujud dan rukuk. Istikharoh. Tenang dan damai kurasa. Sejenak merenung dan berpikir. Berkali-kali dan entah akankah terulang lagi. Ku ambil buku diary berwarna pink diatas meja.

Dear Allah...

Allah... aku belum mampu mengambil hikmah dari semua ini. Sungguh belum kupahami maksud dari semua ujian ini. Dan kini aku tak ingin lagi menikah. Ridhoi keputusan ini Rabb... aku tak mau sakit hati lagi dan lagi.
Rabb... akupun merasa tak lagi sanggup hidup disini dengan semua gunjingan orang kepadaku. Aku titipkan ibuku, keselamatan dan kesejehateraannya padaMu.
Aku ingin meniti karirku sendiri. Keluar dari tempat ini dan pergi ke kota setidaknya untuk mengikhlaskan semua kejadian ini.
-Ananda-

Pagi ini ku sampaikan permintaanku untuk pergi ke kota dengan semua alasan. Hidup telah melatihku untuk menjadi orang yang kuat, bahkan ketika aku terjatuh, aku mampu untuk berdiri sendiri. Aku telah mati rasa. Aku hidup hanya dengan logikaku. Aku tak mau terjatuh dalam lubang yang sama. Tak ada yang mampu menahanku ketika aku sudah mengambil keputusan. Apalagi aku telah berusaha melakukan apa yang mereka pinta dan berakhir dengan kekecewaan.

Aku berangkat lusa. Sebelum itu, aku kirimkan surat pengunduran diri dari tempatku bekerja. Yazakka... salah satu murid tersayang. Mungkin aku akan merindukannya. Tetapi hidup adalah pilihan. Sekarang aku memilih dan aku akan menjalani.

Tiba waktu untukku berangat. Depok adalah kota tujuanku. Aku diberi kabar oleh salah seorang teman disana bernama Salsa, bahwa ada lowongan pekerjaan sebagai redaksi majalah Al Adzkia. Salah satu majalah islam populer di Indonesia. Peneyebaran majalah ini tak hanya di pulau Jawa tetapi juga sudah menyebar ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Pulau-pulau lainnya. Aku mencoba melamar disana hanya berbekal riwayat organisasi pernah 5 kali menjadi pimpinan redaksi majalah sekolah dan BEM. Tulisanku tak begitu buruk. Portopolio tulisanku bawa. Berharap ini akan membantuku mendapatkan pekerjaan.
Kereta Argo Lawu jurusan Solo Balapan-Gambir telah gagah berdiri menunggu penumpang naik. Untuk diantarkan sampai tujuan. Ibu, Mas Arya, Mas Ridwan dan Mbak Airin mengantarku sampai Stasiun. Doa dan nasehat meluncur satu persatu dari mereka.
Dari Gambir aku harus naik Bajaj ke Stasiun Juanda. Lalu naik kereta ke Depok Baru. Di Depok Baru, Salsa akan menjempuku. Di Depok aku dan Salsa akan tinggal bersama di kosan daerah Margonda. Di sanalah kantor majalah Al Adzkia berada.
“Nanda....” Teriak Salsa saat menjemputku. Peluk hangat kedua sahabat yang lama tak jumpa terpisah oleh jarak. Rindu. “Kamu kok tambah kurus nan?” tanyanya.
“Iya... aku diet.” Jawabku senyum dengan  nada gurauan. Salsa tau masalahku, dan ia tau bahwa penurunan berat badan ini disebabkan karena itu.
“Kamu kok diet? Sepertinya tidak mungkin. Sindrom tidak mau makan saat stres sepertinya masih aja. Kasian tuh perut.” Kata Salsa sambil menunjuk bagian perutku. Ia tahu benar bahwa aku memiliki penyakit pencernaan yang cukup parah. Sekali kumat bisa-bisa menurunkan 2-5 kg berat badan. Aku menjawabnya dengan senyum. “Yuk kita ke kos. Mudah-mudahan kamu betah ya disini. Ini kos khusus muslimah. Jadi gak usah khawatir, pergaulannya aman terkendali.” Celoteh Salsa.
Setelah dua hari berada di kos Salsa. Panggilan kerja dari majalah Al Adzkia datang. Ada 30 pelamar. Hari pertama tes tertulis, lalu dua hari setelahnya interview. Aku gugup luar biasa. Dalam beberapa detik aku mampu mengendalikan diri. Dihadapanku ada 5 orang yang mewawancarai. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Salah satunya adalah Salsa. Salsa telah menjadi tim inti dari majalah ini. Aku tak berharap mendapatkan nilai lebih karena Salsa adalah temanku. Tetapi akupun tetap berjuang bahwa aku pantas berada di majalah ini. Aku percaya bahwa Salsa profesional. Aku mengenalnya sejak ia menjadi ketua editor majalah sekolah dulu. Pembawaan yang tegas, profesional dan kreatif yang membuatku suka dengan etos kerjanya. Dari 10 orang yang diinterview hanya 3 orang yang akan diterima. aku mengeluarkan portofolio, memperkenalkan blog yang aku kelola dan kumpulan karya yang belum dimuat. Semoga bisa menjadi pertimbangan.
Hari pertama aku bekerja di majalah Al Adzkia, 1 bulan masa training. Aku bergabung dengan redaksi yang mengelola rubik Tsaqofah, Refleksi dan Feature. Semua adalah artikel ringan. Aku bekerja sebaik mungkin. Beberapa kali tulisanku dikoreksi. Disini, hampir semua orang to the poin. Jika tak lapang dada, maka mental akan drop. Semua koreksi menjadi acuanku. Aku berada dalam tim yang dipimpin oleh Bu Witra. Bu Witra membimbingku hingga menemukan karakter menulis.
Beberapa bulan berjalan, tim redaksi Pak Awan kekurangan anggota karena ada yang cuti melahirkan. Aku dipindah ke kelompok Pak Awan. Sebenarnya Pak Awan masih muda, ia berusia beberapa tahun diatasku. Tampangnya cool bahkan bisa dibilang wajah tanpa ekspresi. Pembawaan yang berwibawa, tak banyak bicara tetapi sekali berbicara sangat mengena. Bahkan komentar atas tulisanku di kritik simpel dan tepat sasaran.

Aku kembali menemukan titik kebebasan disini. Tak lagi dirisaukan dengan urusan menikah. Bebas berkarya, bebas berpendapat dan bebas melakukan hal yang aku inginkan. Beberapa bulan sejak aku di Depok, aku hanya seminggu sekali telpon ke rumah. Aku masih risih dengan pembicaraan tentang jodoh dan pernikahan. Aku ingin fokus dengan apa yang aku kerjakan sekarang. Maaf ibu jika mengecewakanmu. Mungking memang ini jalan hidupku.
Sepulang kerja aku dan Salsa menyempatkan diri berjalan-jalan mencari kebutuhan bulanan. Kami bercerita dari hati ke hati. Ia mengerti kondisiku dan membuatku nyaman. Tak seperti yang lain. Di kantor sendiri, teman-teman menjodoh-jodohkanku dengan Pak Awan. Alasannya karena hanya aku yang betah dengan sikap Pak Awan yang serius dan super nakutin. Aku sendiri menjadi risih. Tapi wajah tanpa ekspresi Pak Awan masih tenang.
Pagi ini, aku dipanggil Pak Rahmat. Beliau adalah pimpinan redaksi majalah kami. Sebelum aku datang, ternyata Pak Awan sudah duduk tenang didepan meja Pak Rahmat.
“Assalamu’alaikum. Bapak memanggil saya?” tanyaku.
“Wa’alaikum salam. Duduk nan.” Kata pak Rahmat.
“Baik kalian sudah berada disini. Saya mau mengatakan bahwa kalian berdua ditugaskan untuk datang ke daerah konflik.” Kata Pak Rahmat. Wajahku berubah. Aneh. Hanya kami berdua? Melihat ekspresi wajahku Pak Rahmat melanjutkan perkataannya, “Kalian tidak berangkat berdua, kalian akan bersama dengan Tim Dokter dari Mer-C. Saya ingin kalian memboomingkan masalah ini. Saudara kita sesama muslim menderita disana dan tidak ada publikasi dari media apapun. Dan dua TV lain, bekerja sama dengan kita dalam hal ini. Kalian punya tanggung jawab penting. Karena kalian akan menjadi tim. Saya harap kalian bisa kompak. Ini surat tugas kalian.” Kata pak Rahmat membuatku tenang.
“Baik Pak, saya akan berusaha sebaik mungkin.” Jawab Awan.
“InsyaAllah pak. Kapan kami berangkat?” aku adrenalinku tertantang.
“Lusa kalian berangkat, Nanda hari ini saya beri ijin kamu untuk pulang kekampung halaman untuk meminta ijin dan berpamitan. Segala sesuatunya akan dipersiapkan oleh Awan” Kata Pak Rahmat.
“Baik pak. Terimakasih.” Jawabku. Aku dan Awan keluar dari ruangan Pak Awan.
Aku sendiri ragu, akankah aku memnafaatkan ijin ini? Sejujurnya aku belum ingin pulang. Dan jika aku meminta ijin, belum tentu aku mendapatkannya. Tetapi bagaimanapun aku tetap harus meminta ijin. Aku putuskan untuk pulang dengan pesawat hari ini dan kembali besok sore. Mas Arya menjemputku di Bandara Adi Sumarmo Solo.
Sampai dirumah peluk hangat ibu dan saudara-saudaraku menyambut. Saat obrolan santai di ruang makan, barulah aku sampaikan tugasku.
“Bu, Nanda ditugaskan dari kantor untuk ke Daerah konflik....”kata-kataku belum selesai sudah dipotong ibu.
“Biarkan temanmu lain yang berangkat.” Potong ibu.
“Bu, Nanda tidak ingin berdebat dengan ibu. Ibu juga tau, Nanda pasti berangkat. Nanda hanya meminta doa ibu agar Nanda selamat disana.” Jawabku ngeyel.
Semua anggota keuarga tau, jika aku telah membuat keputusan maka tak kan terbantahkan. Akhirnya dengan segala berat hati mereka mengikhlaskan aku pergi ke daerah konflik itu.
Jam keberangkatan hampir tiba, kami di brefing untuk apa yang harus kami lakukan. Menyamar menjadi turis sampai berkumpul di suatu tempat yang ditentukan. Dokter Aida adalah istri pimpinan rombongan. Mereka mensyaratkan aku untuk menikah sebelum berangkat kesana. Agar ada yang menjagaku.
“Nan, kami mohon sebelum kita berangkat, kamu dan Awan menikah. Semua diantara kami telah memiliki pasangan dan saling melindungi. Kita tau bahwa disana terdapat kejahatan perang. Tak ada jaminan aman bahkan ketika kamu berada di barak pengungsian.” Kata mengagetkanku.
“Maaf dok, saya kira saya bisa menjaga diri saya sendiri. Di awal saya ditugaskan, tidak ada kesepakatan bahwa saya harus menikah. Saya disini karena pekerjaan. Mohon maaf saya tidak bisa.” Kataku dengan nada sedikit tinggi.
“Nan... kami mohon, kita tak pernah tau apa yang terjadi disana.” Kata dokter Aida.
“Dok, lebih baik saya tidak berangkat dari pada saya harus dipaksa menikah. Lebih baik saya mati disana dalam menjalankan tugas dari pada harus terikat. Jika dokter memaksa, saya akan berbicara kepada Pak Rahmat untuk tidak berangkat, bahkan jika saya harus kehilangan pekerjaan.” Kataku dengan nada marah.
“Nan, kami sudah meminta ijin walimu, juga Pak Rahmat. Kami mohon...” Kata dokter Aida yang masih sabar dan lembut menghadapi keras kepalaku.
“Dok, hidup ini saya yang menjalani bukan mereka. Saya bersedia mengcansel keberangkatan saya. Jika itu syaratnya.” Jawabku tegas tanpa kompromi.
Baru kali itu aku melihat sorot mata redup dan ekspresi kaget dari Awan. Semua tak mampu menahan kekeraskepalaanku.
Kalian sungguh tak mengerti apa yang aku rasakan. Mendengar kata ‘menikah’ saja rasanya sudah membuatku mual. Aku tak mengingikannya. Aku bahagia dengan hidupku yang sekarang. Dan kalian tak tau bagaimana sakitnya rasa kecewa ini. Dalam waktu ini, aku sedang belajar. Belajar berdamai dengan hidup. Jadi aku mohon jangan pernah keluarkan kata-kata itu lagi. Apalagi memaksaku menjalaninya. Maaf mengecewakan. Aku benar-benar tidak bisa.



2 komentar: