Kamis, 09 Oktober 2014

Anak Dari Surga

Cuaca sepertinya sedang tidak bersahabat. Sedari sore kemarin hujan tak juga reda. Bahkan semalam beberapa kali petir menyapa bumi. Rasa malaspun menggelayuti diri untuk segera berangkat mengajar ke sekolah. Gunung merapi dan merbabu di sebelah barat hingga jam 6 pagi tertutup oleh awan mendung. Dingin. Matahari muncul malu-malu bersembunyi dibelakang awan. Redup. Pagi seperti ini bagi pemalas pasti akan lebih memilih untuk mengangkat selimut di tempat tidur. Menghabiskan pagi dengan tidur. 


Hey... lihatlah apa yang terjadi di kebun. Ayam yang dipelihara ibu sudah berkokok dan mencari makan. Seolah tak peduli dengan cuaca yang tak bersahabat. Ah... aku tak mau kalah dengan ayam-ayam itu. Belajar dari ayam memacu sedikit semangat. Aku memaksa diri mengambil handuk. Mandi walau rasa dingin terasa menusuk tulang. Setelah bersiap, aku berangkat bersama si putih yang biasa mengantarku kemanapun. Sekolah dipinggir rel kereta api bercat oren bermasjid hijau itu tempat tujuanku. Setelah aku parkir motor tersayang diantara deretan motor yang sudah lebih dulu datang. Sepagi ini anak-anak sudah bermain dengan ceria di lapangan sekolah. 

Satu demi satu aku menyalami anak-anak sampai masuk ke kantor. Salah satu anak menyapa dengan manjanya. 
“Ustadzaaaaahhhhhh” Sapa Fatih. 
“Iya... Assalamu’alaikum” Jawabku 
“Wa’alaikum salam....” Jawab Fatih sambil meminta pangku. 

Aku adalah seorang guru SD kelas 1 untuk mata pelajaran PAI dan Al Qur’an. Setiap awal pembelajaran selalu dimulai dengan ‘berbagi bintang’ sebagai tiket istirahat. Dan anak-anak selalu berebut mengumpulkan bintang sebanyak-banyaknya. 
“Assalamu’alaikum... Wa Rohmatullah... Wa Barakatuh...” Sapaku memulai kelas. 
“Wa’alaikum salam... warohmatullah... wa barokatuh...” Jawab anak-anak kompak. 
“Oke... ustadzah mulai dengan bintang pertama... muroja’ah surat Al Bayinah...” Pintaku kepada anak-anak... dengan sikap sempurna mereka menghafalkan secara bersama-sama. Satu per satu nama aku beri bintang. 
“bintang ke dua... siapa yang hari ini sholat subuh nagkat tangan...” anak-anak mengangkat tangan serentak. Satu per satu anak yang mengangkat tangan aku beri bintang. 
“Ustadzah... Fatih puasa...” teriak salah seorang anak. 
“Iya Fatih?” malu-malu Fatih mengangguk. 
“Puasa apa nak?”tanyaku 
“Puasa senin kamis” jawabnya. 
“Kalau begitu bonus untuk Fatih adalah menulis bintang sebanyak-banyaknya” kataku Begitu awal pembukaan pembelajaran. 
Detik demi detik. Menit demi menit berlalu. Materi pembelajaran juga telah disampaikan. Selanjutnya anak-anak menulis materi yang tadi telah dijelaskan. Setiap yang selesai menjalankan tugasnya akan diberi bintang dan memilik bintang terbanyak dipanggil istirahat pertama. Tentu yang istirahat pertama adalah Fatih. Si anak ajaib. Disela istirahat makan, Fatih duduk dipangkuanku. 
“Fatih, siapa yang mengajari puasa?” 
“Tidak ada. Aku mau puasa sendiri” Jawabnya. 
“Wah hebat...” Pujiku 
“Apa Bunda dan Ayah juga puasa?” tanyaku menelisik lebih dalam. 
“Bunda tidak puasa, kan bunda lagi hamil. Kalau Ayah setiap senin dan kamis sahur terus. Katanya itu puasa sunnah senin dan kamis.” Jawabnya 
“Oooo... Fatih ikut-ikut Ayah ya?” tanyaku dengan nada menggoda. 
“Ya Tidak... Aku mau puasa sunah karena aku mau sendiri” jawabnya polos. 
Di hatiku merasa malu dengan anak ini. Ia benar-benar anak dari surga. Dulu sewaktu kuliah, puasa itu begitu sering aku lakukan. Hingga sakit Maag akut menyapa. Anak ini begitu istimewa. ‘Sekecil ini?’ tanyaku dalam hati. Dikala teman-temannya puasa hanya setengah hari, ia sudah puasa sunah. Kebiasaan tahajud dan puasa sebenarnya tergambar jelas di katub matanya yang agak kecoklatan. Tanda waktu tidurnya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Hatiku merasa kagum kepada orang tua yang telah mendidik anak ini. Tetapi disatu sudut dihatiku, akupun iri dengan orang tua anak ini yang sangat hebat mendidik Fatih. 

Sebuah pertanyaan tiba-tiba menyapa, ‘jika aku mempunyai anak, mungkinkah mampu mendidiknya seperti kedua orang tua anak ini mendidik?’ Namun muncul pula sebuah tekad.
“Fatih... kamu itu dari surga ya? Tanyaku saat dia masih dalam pengkuan. Ia menjawab dengan senyuman. 
“Nanti kalau kamu kembali ke surga, ustadzah diajak ya...” mintaku menahan haru. 
Jika tak ingat banyak anak-anak dikelas mungkin air mata sudah menetes. Aku melihat seorang anak sholeh dan hebat yang akan menjadi bagian dari kebangkitan islam. ‘ustadzah doakan kamu jadi orang sukses’ doaku dalam hati. Anak bagaikan selembar kertas putih. Orang tuanya lah yang akan banyak menuliskan huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf. Jika kita ingin memiliki anak sholeh, makan jadilah orang tua yang sholeh. Seperti yang dikatakan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan itu adalah Tut wuri handayani, Ing Ngarso sung tulodho, Ind Madyo mangunkarso. 

Gemolong, 18 Juni 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar