Kamis, 09 Oktober 2014

Undur-Undur, Hidup Tidak Boleh Mundur

Pada 2004, Umar adalah siswa kelas VII SMP YIMI Gresik dan gagap. kemampuan kognitifnya juga ala kadarnya dan sangat standar. pada saat menerima rapor tahunan hati kedua orang tuanya berdebar-debar. takut Umar tidak naik ke kelas VIII. selain huruf nama depannya "U" ayah bunda Umar mendapatkan giliran terakhir menerima rapor berwarna merah. "Bagaimana ibu, rapor anakku, naik atau tidak naik?" tanya Bunda Umar tak sabar. 


Ibu wali kelas tersenyum. "Di sekolah ini, siswa tidak naik hanya karena dua hal. pertama, absen siswa mencapai lebih dari 40%. kedua, siswa tersebut melakukan tindakan pidana serius, mungkin bahkan bisa dikeluarkan. Nah Umar, masya Allah, dia selalu hadir di kelas dan santun sekali kepada gurunya. Teman-temannya juga menyukainya. Umar hebat, Bunda. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak naik kelas.” “Alhamdulillah, tapi nilainya ini kok pas-pasan, ya? Ranking berapa, Umar? Kali ini ayahanda Umar bertanya sambil membuka lebar-lebar rapor anaknya. “Ayah, Bunda, nilai yang ada dilembar rapor itu hanya kemampuan kognitif Umar. Nilai matematikanya pas-pasa, kan? Hanya 6,5. Tapi, menurut kami, Umar mempunyai kemampuan luar biasa dalam kreativitasnya. Jika tidak percaya, sebentar lagi Ayah-Bunda dapat melihatnya sendiri” Jawaban wali kelas membuat kedua orang tua Umar bertambah bingung. Mereka merasa, mana mugkin dengan nilai pas-pasan, anaknya masih saja dikatakan hebat? “Setelah ini, Ayah-bunda bisa melihat karya anak-anak ita selama enam bulan ini. Masuknya mulai pintu masuk sebelah utara, ya! Umar kebetulan di stand no 210. Coba Ayah-bunda lihat, siapa sesungguhnya si Umar!” Tanpa bertanya lagi, setelah mengucapkan terimakasih, ayah-bunda Umar langsung menuju tempat pameran produk yang sangat sederhana. 

Setiap anak berjajar dengan bangkunya masing-masing yang bernama dan bernomor. Jumlah seluruh siswa di sekolah itu 350 orang, sehingga seluruhnya ada 350 stand pameran. Sungguh dahsyat! Seperti menyusuri pameran tingkat internasional saja, ketika setiap siswa siap melakukan presentasi produk yang ada diatas mejanya kepada pengunjung yang kebanyakan orang tua da keluarga siswa. Pameran produk tersebut sangat ramai. Lorong pertama diisi oleh siswa-siswa kelas IX. Disana, ada yang melakukan presentasi yang membantah teori Darwin. Ada pula yang mejanya enuh dengan poster “semangat” untuk bekerja dan produktif. Selain itu, ada juga yang melakukan presentasi menggunakan laptop tentang cara mengetahui apakah anak-anak pernah membuka situs porno atau tidak. Stand ini sangat ramai dikerumuni orang tua karena mereka ingin tahu caranya. Sampailah Ayah-Bunda Umar di antrean meja no 210, yaitu meja Umar. “apa ini, Umar?” tanya setiap orang bergantian. Uamr menyiapkan sebuah alas terbuat dari seng, lalu menaburkan pasir putih setinggi ½ cm diatasnya. Kemudian Umar memasukan puluhan binatang undur-undur pada pasir tersebut dan meminta para penonton meyentuh pasir tersebut. Wow, tiba-tiba terbentuk garis-garis abstrak, dari gerak undur-undur di permukaan pasir tadi. Umar mertakan kembali pasir tersebut, lalu meminta pengunjung menyantuhnya lagi sehingga terbentuk lagi sketsa lukisan pasir yang berbeda dengan sebelumnya. Semua pengunjung berdecak kagum. Tidak hanya itu, disamping meja ada sebait puisi yang ditulis Umar dan dipasang berdiri di sisi mejanya. 

Undur-Undur, Hidup Tidak Boleh Mundur 
Karya Umar 
Jangan sedih jangan susah 
Hidup memang adalah masalah 
Terus maju jangan mundur 
Jangan hidup seperti undur-undur 
Tak mau maju terus mundur 
Tak sangka jutaan karya jadi luntur 

Tanpa malu-malu, Umar membacakan sebait puisi itu kepada para pengunjung yang sudah dibuat terperangah oleh gerakan undur-undur pada pasir putih itu. Dengan terbata-bata, sampai urat lehernya menegang, Umar beraksi membaca puisi bak W.S Rendra. Tepuk tangan bergemuruh dari pengunjung. Jutaan pujian terdengar. Hanya ada dua orang yang berdiri diam, tak bisa berkata apa-apa selain linangan air mata di pipi. Mereka adalah ayah-bunda Umar. Sungguh, Umar adalah anak istimewa. Lalu dilubuk hati paling dalam sekali, terasa ada secercah harapan masa depan untuk anaknya, si Umar. 

Dikutip dari: Sekolah anak-anak juara, Munif Chatib dan Alamsyah Said.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar