Jumat, 10 Oktober 2014

Ibu, Jangan Benci Aku


Gedung bercat hijau, berdiri gagah diantara sawah-sawah yang mengelilinginya. Didepan bagian depan ada masjid yang tampak elegan berdiri walaupun masih tenggelam diantara gedung-gedung lain disekitarnya. Pagi ini cukup cerah jika dilihat dari arah timur menghadap ke barat, berjajar dua gunung menjadi latar gedung-gedung itu. Gunung itu adalah gunung Merapi dan Merbabu yang tampak indah tersinari matahari. Ditambah hiasan awan yang putih bersih dan langit biru yang menambah takjub yang memandangnya.  Aktivitas dideretan gedung itu telah dimulai. Tampak motor dan mobil memasuki area parker yang ada disana. Itulah kampusku IAIN Surakarta.
Papan pengumuman sejak sepagi ini sudah ramai diserbu Mahasiswa semester 7. Riuh. Ada yang senang, ada yang sesal, namun ada pula yang terlihat biasa-biasa saja. Mereka bukan melihat hasil ujian atau nilai apapun. Mereka melihat pengumuman pengelompokan KKN. KKN kali ini aka diselenggarakan di salah satu kecamatan paling ujung di kabupaten Sukoharjo. Namanya Bulu. Disanalah aku bersama teman-temanku akan mengabdi dengan memecahkan sebagian permasalahan di desa masing-masing. Aku ikut mendekati papan itu untuk mencari namaku. Tak begitu sulit karena namaku masih berada dijajaran teratas papan itu. Nama Ananda Sofia berada dikelompok 15 bersama dengan kelompok 16 ke desa Malangan yang akan dibimbing dengan Pak Harun Kurniawan. Tanggal pemberangkatan tinggal 1 minggu lagi. Aku harap semua berjalan dengan lancar.
Setelah segala pembekalan yang entah bermanfaat atau tidak karena tempat pembekalan yang terlalu panas, kami membentuk struktur kelompok. Ketua kelompok kami adalah Toriano Wisnu, entah dari mana orang tuanya memberi nama aneh itu. Dan aku dipercaya menjadi sekretaris kelompok. Anggota kelompok kami hanya 12 orang. Setelah itu kami menemui pembimbing kami untuk memastikan teknik pemberangkatan dan lain sebagainya.
***
Hari pemberangkatanpun tiba. Pagi itu hujan mengguyur daerah Surakata dan sekitarnya hingga jam 7 pagi membuat pemberangkatan agak sedikit molor dari jadwalnya. Bus-bus telah berjajar rapi didepan kampus hijau itu bersiap mengantar mahasiswa ke desa masing-masing. Jam 8 kami berangkat dan jam 9 lebih 15 menit kami sampai dikota kecamatan dan di sambut ramah oleh Pak Camat. Setelah diserahkan kepada Pak Camat, kami dijemput oleh Lurah masing-masing atau perwakilannya untuk kembali di sambut dengan sedikit prosesi, baru setelah itu kami ke basecamp. Kelompokku bisa dikatakan berada dikota kelurahan. Sampai di basecamp kami berkumpul untuk sedikit membicarakan apa yang akan kita lakukan selama kurang lebih 2 bulan ke depan.
Wisnu membuka rapat dan aku mencatat hasil rapat yang memutuskan, hari ini dan besok kami akan ‘sowan’ ke rumah pemuka desa setempat, lalu silaturahim ke takmir masjid sekalian meminta ijin untuk ikut mengajar TPA disana, ke SD Malangan 1 untuk meminta ijin ikut memberikan les tambahan kepada murid-murid disana sepulang sekolah dan lain sebagainya. Tentunya jadwal piket dan tugas menjaga basecamp. Aku dipercaya untuk mensikronkan semuanya, dijadwal dengan rapid dan baik.
***
Jadwal telah tersusun rapi, masing-masing anggota memiliki kewajibannya sendiri. Hari ini adalah jadwalku untuk mengajar TPA yang berada kurang lebih 200 meter dari basecamp. Usai sholah ashar, aku dan Viana berangkat ke masjid itu. Masjid terbesar di dukuh Malangan dengan cat berwarna putih, tiang penyangga berwarna hijau dan kaca besar berjajar rapi mengelilingi masjid. Tampak 2 orang ibu-ibu berjilbab besar duduk menunggu santri TPA disana. Aku dan Viana bersalaman dengan ibu-ibu itu sambil memperkenalkan diri. Kami disambut cukup ramah. Hari itu kami mengajar membaca dan menulis Al Qur’an.
Disaat asik menyimak salah seorang santri disana, ada sedikit kekisruhan. Aku melihat seorang anak laki-laki bertubuh mungil, bermata hitam bening, dengan bulu lentik diatas mata, berkulit kuning langsat dan berambut hitam. mungkin berusia 6-7 tahun. Ia terlihat begitu tampan. Ia bersikap kasar kepada salah satu anak, lalu teman-temannya menyalahkannya dan mengejeknya. Aku mendekati mereka. Entah mengapa ada rasa iba melihat anak itu. Karena sebenarnya tidak ada anak yang dilahirkan menajdi nakal. Lingkunganlah yang membentuknya menajdi seperti itu. Mungkin karena ‘cap’ yang irang-orang berikan, mungkin juga ada masalah dalam psikologi anak ini. Yang jelas, anak lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah yang menurut dosen Haditsku bukan hanya berarti suci, tetapi juga disertai potensi. Potensi itupun ada yang baik dan ada yang buruk. Potensi baik itu berupa hati nurani sedangkan potensi buruk itu berupa nafsu.
“ada apa ini dek???” tanyaku kepada mereka.
“itu mbak Dimas nakal.” Kata salah seorang santri. Mataku menatap Dimas mencoba membaca gelagatnya. Ia tampak diam menahan sesuatu, entah apa itu. Sosok itu misterius.
“Dimas… kenapa?” tanyaku dengan tangan mendekap pundaknya.
Diam. Tak bereaksi. Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ia meronta melempar tanganku dari tubuhnya dan berlari. Tanpa kata. Ia lari dengan semua keanehan itu.
Reaksi Dimas sedikit mengusik perasaanku. Ada apa dengan anak ini? Aku mulai bermain dengan pikiranku, bertanya-tanya.
“Sof, ada apa?” Tanya Viana menyadarkanku dari lamunanku.
“Oh… gak pa-pa vin, Cuma tadi ada sedikit masalah.” Jawabku.
“gak usah dipikir bu, Dimas emang nakal”. Kata salah seorang ustadzah TPA disana.
Aku jawab kata-kata itu dengan senyum. Tanpa sadar, ternyata acara TPA sore itu selesai. Aku dan Viana berjalan menyusuri desa kembali ke basecamp. pikiranku kembali memikirkan Dimas. Ada apa dengan anak itu? Dimana rumahnya? Dia memang diam, tapi aku melihat hatinya menjerit minta pertolongan.
***
Dalam perjalanan pulang, terdengar suara marah-marah dari salah satu rumah. Aku dan Viana mencari asal suara. Suara itu berasal dari rumah tembok bercat kuning. Terlihat seorang wanita berusia 30 tahunan melempar memarahi anaknya dan berlaku kasar. Karena melihat kami, ia agak sedikit malu.
“malam ini tidur diluar, jangan masuk dirumah” teriaknya pada anak itu lalu membanting pintunya keras-keras.
Anak kecil itu menangis tergugu dalam posisi jongkok. Aku melihatnya dengan seksama. Anak itu Dimas. Iya benar anak itu Dimas.
“Dimas” kataku mendesah pelan.
“Apa?” kata Viana yang sedikit mendengar suaruku.
“Itu Dimas” jawabku.
Dalam hatiku aku ingin menolong Dimas, tapi logikaku berkata aku baru datang disini, jangan mencari masalah. Anak itu masih terus menangis keras. Air matanya menagir tak tertahan. Sedangkan aku berdiri mematung disana. Aku tak mendengar suara Viana, sepertinya ia juga ikut berdiri mematung sepertiku. Menyadari keberadaan kami, Dimas berlari. Hatiku berkata, ikuti anak itu. Kakiku spontan mengikuti kata hatiku. Aku berlari mengejar Dimas. Mau kemana dia? Bukannya ini sudah sore? Aku mengikutinya. Ia berlari kea rah SD 1 Malangan yang berada disamping kelurahan. Ia memanjat pagar karena gerbang sudah terkunci dan mendekati ayunan. Aku yang memakai rok agak kesulitan mengikutinya memanjat pagar SD. Tapi akhirnya, sukses. Aku berhasil memasuki SD 1 Malangan. Aku duduk dan diam diayunan samping Dimas. Ia masih tergugu.
Aku menatapnya iba. Teringat ada coklat yang tersmpan disaku rokku yang tadinya ingin ku berikan kepada adik-adik TPA tetapi urung ku berikan karena keributan itu. Aku tersenyum ke arah Dimas. Dia muali berhenti menangis.
“Dimas mau coklat?” kataku ramah. Dimas mulai memandangku. Dengan cepat tangannya mengambil coklat ditanganku lalu tertunduk mulai sibuk makan coklat. Aku tersenyum. Reaksi yang bagus. Setidaknya itulah reaksi untuk memberiku kesempatan untuk menjadi temannya. Ku tunggu sampai coklat yang ditangannya selesai dimakan.
“Dimas pulang yuk…” ajakku. Dia terdiam. Mungkin berpikir mau pulang kemana. Kan tadi habis diusir ibu.
“sekarang kan udah mau maghrib, apa Dimas mau disini sampai malam??? Emm… gini aja dech, Dimas ikut kakak pulang ke basecamp ya… disana ada banyak kakak-kakak yang baik.” Ajakku dengan tersenyum. Wajah itu mulai menatapku. Ia agak ragu.
“Dimas mau tidur disini? Enakan  tidur di basecamp kakak…” kataku meyakinkan. Tubuh mungil yang lebih tepat jika dikataka kurus itu berdiri. Bersiap mengikuti ajakanku.
Aku berjalan disamping Dimas. Terselip keinginan untuk memberikan sedikit kehangatan buatnya. Wajahnya begitu dingin. Entah kenapa ia memutuskan untuk bersikap seperti ini. Kata orang, nakal itu bisa berarti meminta perhatian. Tapi nakal bisa juga disebabkan karena ia ingin memberontak dengan sikap lingkungan terhadap dirinya. Apapun itu. Tak seharusnya anak nakal itu di’cap’ nakal dan dijauhi. Mereka juga anak-anak yang butuh perhatian dari orang tua dan orang-orang disekitarnya. Rasulullah juga mengajarkan dengan detail untuk mendidik anak, Beliau melarang orang tua atau siapapun berbohong kepada anak, harus berkata lembut, bahkan Rasulullah adalah seseorang yang sangat sayang terhadap anak-anak. Usia anak-anak, merupakan usia emas. Mereka sangat cepat menyerap apa yang diberikan kepadanya.
Kami telah berada didekat basecamp. samapai di basecamp, aku membuatkan Dimas secangkir teh dan makanan ringan. Tetapi sebelumnya aku meminta tolong kepada Wisnu untuk menemani Dimas dan mengajaknya bermain. Viana yang pulang lebih dulu mendekatiku.
“Lagi buat apa sof?” tanyanya dengan ramah.
“ini buat teh untuk Dimas” jawabku.
“Alhamdulillah Dimas mau diajak kesini” jawabnya sambil membantuku membuatkan teh.
Wisnu dan Dimas terlihat begitu akrab. Mereka bermain ular tangga di ruang tengah depan TV. Bahkan sesekali senyum Dimas terukir dibibir manisnya. Ternyata jika Dimas tersenyum menjadi lebih manis. Aku dan Viana mendekati mereka sambil membawakan secangkir teh untuk Dimas.
Adzan maghrib berkumandang.
“Dimas pulang ya, nanti kalo dicariin sama ibu gimana?” kataku kepada Dimas.
“Dimas gak mau pulang. Ibu juga gak akan nyari Dimas. Pokoknya Dimas gak mau pulang.” Jawabnya dengan tatapan tajam.
“oh... ya udah kalo gitu.” Jawabku mengalah.
Aku berbicara kepada Wisnu agar meminta ijin dan memberitahu orang tua Dimas kalau malam ini Dimas tidur di basecamp kami.
Wisnu dan teman-teman yang lain berangkat ke masjid bersama dengan Dimas. Agak aneh jika dilihat satu tubuh kecil mungil diantara 4 orang dewasa. Sesekali Dimas tertinggal langkah. Ia agak sedikit berlari menyeimbangkan langkahnya dengan 4 orang dewasa itu. Sepulang sholat, Wisnu mampir ke rumah Dimas untuk meminta ijin agar Dimas bermalam di basecamp. Sedangkan Dimas sendiri sudah pulang bersama 3 kakak KKN yang lain.
Sesampainya di rumah Dimas, Wisnu disambut oleh seorang wanita berusia sekitar 30an berparas cantik walaupun tak ramah. Didalam terdengar suara 2 anak perempuan seusia Dimas. Saat Wisnu menyampaikan tujuannya datang kesana, jawaban ketus tanpa khawatirlah yang diucapkan wanita itu. Wisnu agak sedikit kaget dengan jawaban, ‘kalau dia mau disana ya biarkan saja, kebetulan. Kalau bisa tidak usah pulang’.
Dibasecamp Wisnu menceritakan itu kepada kami, sedangkan Dimas asik bermain dengan Arya, Bagus dan David. Aku semakin bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi pada Dimas, kepana ibunya begitu tak peduli dengannya. Ah... kenapa ada ibu seperti itu. Bukankah Allah memiliki 100 cinta, 99 disimpan dan yang 1 diturunkan ke bumi. Bahkan dengan 1 cinta, ibu keledai mencintai anak-anaknya? Ini bukan keledai atau hewan lain, kok bisa-bisanya tak peduli sama anak sendiri.
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki 100 rahmat satu rahmat dari padanya diturunkan Nya dan dibagi-bagi diantara jin, manusia, hewan-hewan besar dan kecil. Dengan rahmat yang satu itu, semua makhluk tersebut. Saling sayang menyayangi dan kasih mengasihi. Dengan rahmat yang satu itulah seekor keledai liar menyayangi anaknya. Adapun rahmat yang 99 lagi disediakan Allah SWT buat kehidupan di akhirat. Dengan rahmat yang 99 itulah Allah akan mengasihi hambaNya pada hari kiamat”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dimas menjadi semakin sering main di basecamp kami. Ia menjadi anak yang ceria,  tidak seperti apa yang dikatakan orang padanya. Pagi-pagi, kami jalan-jalan bersama. Dimas dengan giat belajar membaca Al Qur’an. ia terlihat bahagia. Pada suatu hari, ibu Dimas datang ke basecamp kami untuk menjemput Dimas. Dimas menolaknya namun ia menyeret paksa Dimas. Kami tak kuasa melarangnya. Dia adalah ibunya Dimas walaupun sebenarnya ia tak pantas dipanggil ibu untuk Dimas. Wajah Dimas ketakutan meminta tolong. Sejak hari itu, Dimas tidak pernah menginap di basecamp kami lagi tetapi dia masi sering main ke basecamp. Bahkan ia menawarkan diri membantu kegiatan kami. Kami mengadakan serangkaian training  untuk penduduk desa, sepulang dari training, Dimas menawarkan diri untuk ‘ngidak-ngidak’ kakak-kakak KKN yang laki-laki. Wisnu, Arya, Bagus dan David yang datang dengan lelah, menjadi ceria dan tak tampak kelelahan setelah menyiapkan dan membereskan acara itu.
Hari demi hari berlalu merangkai pekan. Pekan demi pekan merangkai bulan. Dan tak terasa kami berada dipenghujung kegiatan KKN. Besok kami akan pulang. Sedikit berat karena merasa nyaman dengan keadaan disini. Tetapi mengingat orang tua dan keluarga dirumah, menjadi tak sabar untuk segera kembali ke rumah.
Pagi ini cerah, matahari masih mengintip di balik awan. Aku dan Viana ingin pergi jalan-jalan. Kami menjemput Dimas dirumahnya, ada sosok lelaki berusia 30an tahun berkulit gelap, sepertinya karena terlalu sering terpanggang matahari. Ia tersenyum ramah kepada kami. Ternyata itu adalah ayahnya Dimas. Dengan berlari sambil tersenyum Dimas mendekati kami. kami bertiga siap jalan-jalan pagi. Pemandangan desa ini sangat indah, terlihat hamparan perbukitan disebelah selatan desa itu, dibalik bukit itu ada desa Puron yang masih sekecamatan dengan desa Malangan. Di bagian timur, terhampar sawah hijau yang diakhiri dengan bukit yang katanya itu sudah masuk kabupaten Wonogiri. Matahari masih malu-malu menampakan wajahnya, ia bersembunyi dibalik bukit itu. Mempesona orang yang melihatnya. Dimas sangat senang. Berkali-kali ia eksen dengan gaya-gaya aneh meminta difoto. Kami tertawa geli melihat tingkah lakunya.
Sepulang dari jalan-jalan, kami bertemu ayahnya Dimas. Sedangkan Dimas langsung masuk ke rumah, katanya mau mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melihat kami datang, ayahnya Dimas menghampiri. Dan mulailah sedikit percakapan
“Terimakasih ya mbak... sudah lama saya tidak melihat Dimas seceria itu.” Katanya.
“Oh iya pak sama-sama.” Jawabku.
“Kok kami jarang melihat bapak ya?” sahut Viana bertanya kepada ayahnya Dimas.
“Saya mengadu nasib di Jakarta mbak... berjualan bakso dan mie ayam keliling disana.” Jawab ayahnya Dimas.
“Oh begitu... kalau begitu kami mohon ijin pamit pak. Assalamu’alaikum” Kata Viana sambil undur diri.
“Oh iya mbak, wa’alaikum salam.” Jawab ayahnya Dimas.
Di acara penarikan kami dari pihak kampus, kami dilepas oleh pak Lurah dan dijemput untuk ke kecamatan. Di kelurahan, Dimas menangis. Ia merasa akan kehilangan. Tetapi jauh di dalam pikiranya adalah ketakutan. Takut jika hari-harinya akan sama dengan hari-hari sebelum kami datang. Ia tak mau berpisah dengan kami. Bahkan ia bilang, mau ikut sama kakak-kakak saja. Ah... Dimas, air mataku dan Viana leleh. Haru menyambut perpisahan itu. Tetapi cepat atau lambat kami tetap harus meninggalkan tempat ini dan kembali ke rumah. Kami memiliki keluarga yang menunggu disana. Akhirnya aku kembali ke kosku di daerah Pucangan. Sedikit melepas lelah, karena terlalu sore sampai kampus, aku putuskan untuk menginap dikos. Mataku terpejam oleh lelah. Aku bermimpi, Dimas tersenyum di peluk oleh ayahnya yang menangis tergugu. Dimas berkata dalam mimpi itu, “Ibu jangan benci aku...” wajahnya tulus.
Dibalik mimpi, bersama kenyataan yang dialami Dimas. Ia dipukul oleh ibunya karena memecahkan gelas. Ia menangis keras. Hatinya berkata, hidupku yang dulu telah kembali. Sore itu saat sang ibu melayangkan pukulan ke tubuh Dimas, Sunarto (ayahnya Dimas) tiba dari Solo yang sejak pagi pergi. Melihat semua perlakuan kasar Murni kepada Dimas yang selalu disembunyikan darinya. Murni terdiam kaku. Satu detik. Dua detik. Tangisanpun pecah. Murni berlutut dikaki Sunarto memohon ampun. Sunarto yang melihat itu semua mengusir Murni dari rumahnya. Talak dijatuhkan.
Lalu sunarto memeluk erat tubuh Dimas. Ia berbisik, “Maaf... Maaf... Maafkan bapak...” airmatanya tumpah ruah menyesali semua kejadian itu. Tiga tahun lalu saat ibu kandung Dimas meninggal, ia memutuskan untuk menikah lagi. Mencari seorang wanita yang mau mengurus Dimas. Dimas masih sangat kecil dan membutuhkan kasih sayang ibu. Setelah berkenalan dengan Murni di balai desa. Ia jatuh cinta untuk yang ke dua kalinya. Ia meminang Murni seorang janda beranak 2 yang juga ditinggal mati suaminya setahun silam. Ia berharap Murni bisa menyayangi Dimas seperti anaknya sendiri. Ternyata tanpa sadar, Sunarto telah memasukan anaknya ke neraka dunia. Hampir tiap hari ia diperlakukan kasar oleh Murni, bahkan kadang tak dikasih makan. Terjadilah hari-hari kelabu bagi Dimas. Belum lepas Sunarto memeluk Dimas, Dimas pingsan dalam pelukannya. Lemas tak berdaya. Panik. Sunarto meminta bantuan. Diluar cuaca sedang hujan. Berharap denyut nadi Dimas masih berbunyi. Ternyata Murni memukul tubuh mungil itu dengan keras dan kepalanya mengenai pojok meja.

Cerita ini hanya fiksi saja, jika ada kesamaan tempat dan nama merupakan kesengajaan, bagi nama yang termuat, mohon diikhlaskan saja namanya. ^_^

Gemolong, 24 oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar